Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam salah satu ayatnya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” (al-Qamar: 49)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪَّﺭَ ﻣَﻘَﺎﺩِﻳﺮَ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖِ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺑِﺨَﻤْﺴِﻴْﻦَ ﺃَﻟْﻒَ ﺳَﻨَﺔٍ
“Sesungguhnya Allah telah menentukan seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Radhiyallahu ‘anhuma)
Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan nikmatnya iman sampai meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ: ﺍﻛْﺘُﺐْ. ﻗَﺎﻝَ: ﺭَﺏِّ ﻭَﻣَﺎﺫَﺍ ﺃَﻛْﺘُﺐُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺍﻛْﺘُﺐْ ﻣَﻘَﺎﺩِﻳﺮَ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻘُﻮﻡَ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔُ
Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Tulislah!’ Dia menjawab, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!’.”
Ubadah berkata, “Wahai anakku, aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
ﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕَ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺮِ ﻫَﺬَﺍ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻣِﻨِّﻲ
'Barang siapa yang meninggal tidak dalam keyakinan seperti ini, dia tidak termasuk golonganku’.”
(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Ibnu Dailami rahimahullah berkata, “Ada sesuatu yang tidak baik dalam diriku tentang takdir. Aku sangat khawatir hal ini merusak agama dan urusanku. Aku pun datang kepada Ubai bin Ka’b radhiallahu 'anhu dan bertanya, ‘Wahai Abul Mundzir, sungguh dalam diriku ada bisikan yang kurang baik tentang takdir. Aku mengkhawatirkan agamaku dan urusanku. Nasihati aku tentang hal itu, semoga Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya.’
Ubai radhiallahu 'anhu berkata, ‘(Wahai Ibnu Dailami, janganlah engkau bimbang dengan takdir). Seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit dan bumi-Nya, sungguh Ia tidak menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah merahmati mereka (memasukkan mereka ke dalam jannah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka. Seandainya engkau memiliki emas sejumlah Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir. Hingga engkau yakin bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan menimpamu. Sungguh, seandainya engkau mati dalam keadaan tidak beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka. (Wahai Ibnu Dailami), kalau engkau mau, pergilah kepada saudaraku, Abdullah bin Mas’ud dan bertanyalah.’
Aku pun mendatangi Ibnu Mas’ud dan bertanya kepadanya. Ternyata, ia menjawab seperti jawaban Ubai. Lalu Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata, ‘Coba engkau datangi Hudzaifah!’
Aku pun mendatangi beliau. Aku tanyakan masalahku. Beliau menjawab seperti jawaban Ibnu Mas’ud. Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Cobalah engkau datangi Zaid bin Tsabit, tanyakan kepadanya!’
Aku pun bertanya kepada Zaid, lalu beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﺬَّﺏَ ﺃَﻫْﻞَ ﺳَﻤَﻮَﺍﺗِﻪِ ﻭَﺃَﻫْﻞَ ﺃَﺭْﺿِﻪِ ﻟَﻌَﺬَّﺑَﻬُﻢْ ﻭَﻫُﻮَ ﻏَﻴْﺮُ ﻇَﺎﻟِﻢٍ ﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﻟَﻮْ ﺭَﺣِﻤَﻬُﻢْ ﻟَﻜَﺎﻧَﺖْ ﺭَﺣْﻤَﺘُﻪُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻬِﻢْ. ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻚَ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺣُﺪٍ ﺫَﻫَﺒًﺎ ﺃَﻭْ ﻣِﺜْﻞُ ﺟَﺒَﻞِ ﺃُﺣُﺪٍ ﺗُﻨْﻔِﻘُﻪُ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻗَﺒِﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎﻟْﻘَﺪَﺭِ ﻛُﻠِّﻪِ. ﻓَﺘَﻌَﻠَّﻢْ ﺃَﻥَّ ﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻚَ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟِﻴُﺨْﻄِﺌَﻚَ . ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺧْﻄَﺄَﻙَ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟِﻴُﺼِﻴﺒَﻚَ. ﻭَﺃَﻧَّﻚَ ﺇِﻥْ ﻣُﺖَّ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺮِ ﻫَﺬَﺍ ﺩَﺧَﻠْﺖَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ
“Sungguh, seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit-Nya dan bumi-Nya sungguh Dia mengazab tanpa menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah merahmati mereka (memasukkan mereka ke jannah-Nya), sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka. Seandainya engkau memiliki emas sebesar Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir seluruhnya dan engkau meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan mengenaimu. Sungguh, seandainya engkau mati tanpa beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka.”
(Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, Bab al-Qadar, no. 77, disahihkan oleh al-Albani)
Dalam Shahih Muslim, Thawus berkata, “Aku berjumpa dengan manusia dari kalangan sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya berkata, ‘Segala sesuatu terjadi dengan takdir’.”
Iman kepada takdir ada empat tingkatan:
1. Ilmu
Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu secara global dan rinci, azali (terdahulu) dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya.
2. Kitabah (penulisan)
Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah mencatat semuanya di Lauhul Mahfuzh.
Dalil dua masalah di atas adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala : “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Haj: 70)
3. Masyi’ah (kehendak)
Meyakini bahwa semua yang terjadi, terjadinya dengan masyi’atullah (kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala), baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perbuatan-Nya: “Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu. Oleh sebab itu, janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (al-Qashash: 86)
4. Al-Khalq (penciptaan)
Meyakini bahwa semua yang terjadi adalah makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala: benda (zat), sifat, dan pergerakannya [1].
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan (Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)
(Lihat Syarah Tsalasatul Ushul, hlm. 111—112)
Dari Abdullah ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕُ ﺍﻟْﻤَﺼْﺪُﻭْﻕُ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻳُﺠْﻤَﻊُ ﺧَﻠْﻘُﻪُ ﻓﻲِ ﺑَﻄْﻦِ ﺃُﻣِّﻪِ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴْﻦَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻧُﻄْﻔَﺔً، ﺛُﻢَّ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻋَﻠَﻘَﺔً ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ، ﺛُﻢَّ ﻳُﺮْﺳَﻞُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻤَﻠَﻚُ ﻓَﻴَﻨْﻔُﺦُ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟﺮُّﻭْﺡَ، ﻭَﻳُﺆْﻣَﺮُ ﺑِﺄَﺭْﺑَﻊِ ﻛَﻠِﻤَﺎﺕٍ: ﺑِﻜَﺘْﺐِ ﺭِﺯْﻗِﻪِ، ﻭَﺃَﺟَﻠِﻪِ، ﻭَﻋَﻤَﻠِﻪِ، ﻭَﺷَﻘِﻲٌّ ﺃَﻡْ ﺳَﻌِﻴْﺪٌ، ﻓَﻮَﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﻏَﻴْﺮُﻩُ، ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻟَﻴَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻌَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﺫِﺭَﺍﻉٌ، ﻓَﻴَﺴْﺒِﻖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﻓَﻴَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻌَﻤَﻞِ.ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻓَﻴَﺪْﺧُﻠُﻬَﺎ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻟَﻴَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻌَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻨَﺎﺭِ، ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬَﺎ ﺇِﻻَّ ﺫِﺭَﺍﻉٌ، ﻓَﻴَﺴْﺒِﻖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﻓَﻴَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻌَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻴَﺪْﺧُﻠﻬَﺎ
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami, dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai setetes mani/nuthfah. Kemudian nuthfah tadi menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Lalu diutuslah malaikat kepada janin tersebut dan diitiupkanlah ruh kepadanya. Malaikat lalu diperintah untuk menulis empat perkara: ditulis rezeki si janin, ajalnya, amalnya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia. Maka demi Allah yang tidak ada sesembahan yang patut disembah selain-Nya, sungguh salah seorang dari kalian melakukan amalan ahlul jannah hingga tidaklah antara dia dan surga melainkan tinggal sehasta, namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa dia bukanlah ahlul jannah) lalu ia berbuat dengan perbuatan ahlul nar/neraka maka ia pun masuk neraka. Ada pula salah seorang dari kalian melakukan perbuatan ahlul nar hingga tidaklah jarak dia dengan neraka kecuali tinggal sehasta namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa dia bukanlah ahlun nar tapi ahlul jannah) maka pada akhirnya ia beramal dengan amalannya ahlul jannah lalu ia pun masuk jannah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak ada satu jiwa pun melainkan Allah Subhanahu wa ta’ala telah menetapkan tempatnya di surga atau di neraka dan telah dicatat baginya kesengsaraan atau kebahagiaannya."
Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita pasrah saja dengan apa yang telah ditulis untuk kita dan tidak perlu beramal?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya. Golongan yang berbahagia akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Adapun golongan yang celaka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka.”
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5—10)
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah berangkat menuju Syam. Setibanya di wilayah Sargh, beliau disambut oleh para panglima perang, Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta sahabat-sahabat lainnya. Mereka menyampaikan berita kepada Umar bahwa di negeri Syam sedang terjangkiti satu wabah. Umar lalu memerintahkan untuk mengundang para sahabat dalam rangka bermusyawarah. Mulai dari kalangan Muhajirin, lalu kalangan Anshar, kemudian kaum Quraisy. Dari musyawarah tersebut, Umar memutuskan untuk kembali pulang.
Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.”
Abu Ubaidah bin al-Jarrah Radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?”
Umar menjawab,
ﻟَﻮْ ﻏَﻴْﺮُﻙَ ﻗَﺎﻟَﻬَﺎ، ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﻋُﺒَﻴْﺪَﺓَ ﻧَﻌَﻢْ، ﻧَﻔِﺮُّ ﻣِﻦْ ﻗَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻚَ ﺇِﺑِﻞٌ ﻓَﻬَﺒَﻄَﺖْ ﻭَﺍﺩِﻳًﺎ ﻟَﻪُ ﻋُﺪْﻭَﺗَﺎﻥِ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﺧَﺼْﺒَﺔٌ ﻭَﺍﻟْﺄُﺧْﺮَﻯ ﺟَﺪْﺑَﺔٌ، ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﺇِﻥْ ﺭَﻋَﻴْﺖَ ﺍﻟْﺨَﺼْﺒَﺔَ ﺭَﻋَﻴْﺘَﻬَﺎ ﺑِﻘَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﻋَﻴْﺖَ ﺍﻟْﺠَﺪْﺑَﺔَ ﺭَﻋَﻴْﺘَﻬَﺎ ﺑِﻘَﺪَﺭِ ﺍﻟﻠﻪِ؟
"Andai saja bukan kamu yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari takdir Allah Subhanahu wa ta’ala menuju takdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain. Apa pendapatmu, jika engkau mempunyai ternak unta lalu singgah di sebuah lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi yang subur, sisi yang lain gersang. Bukankah dengan takdir Allah juga jika engkau menggiringnya ke sisi yang subur? Bukankah dengan takdir Allah juga engkau menggiringnya ke sisi yang gersang?”
Setelah itu, datanglah Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya tidak hadir karena ada keperluan. Ia berkata, “Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian mendengar terjadi wabah di suatu daerah, janganlah mendatanginya. Jika kalian berada di suatu daerah yang sedang terjangkiti wabah, janganlah meninggalkannya untuk lari’.”
Umar pun memuji Allah Subhanahu wa ta’ala , lalu bertolak (kembali ke Madinah).
[HR. al-Bukhari (10/179) dan Muslim (4/1740)]
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah:
Orang yang benar-benar cerdas akan berusaha menghindari takdir dengan takdir juga, menghadapi takdir dengan takdir pula. Tidak akan mungkin kita menjalani kehidupan melainkan dengan cara ini. Rasa lapar dan haus, kedinginan, seluruh hal yang menakutkan dan membahayakan, adalah takdir. Seluruh makhluk berusaha untuk terhindar dari hal tersebut dengan takdir juga. Demikianlah kondisi hamba yang memperoleh taufik dan petunjuk. Ia pasti berusaha untuk terhindar dari “takdir” siksa di akhirat dengan “takdir” taubat, iman, dan amal saleh. (ad-Da’u wad Dawa’ hlm. 27)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺍﺣْﺮِﺹْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻚَ، ﻭَﺍﺳْﺘَﻌِﻦْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌْﺠِﺰْ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻚَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ: ﻟَﻮْ ﺃَﻧِّﻲ ﻓَﻌَﻠْﺖُ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ؛ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻗُﻞْ: ﻗَﺪَّﺭَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﻓَﻌَﻞَ
Bersemangatlah kamu menempuh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali kamu malas. Jika sesuatu menimpamu, janganlah kamu katakan, “Seandainya dahulu aku lakukan ini dan itu, niscaya akan demikian dan demikian.” Namun, katakanlah, “Ini adalah takdir Allah, apa yang Ia kehendaki pasti terjadi.”
Berkata Syaikh as-Sa’di rahimahullah:
Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya (amal buruk), ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Ia akan bersungguh-sungguh melakukan amalan saleh yang akan mengantarkan dirinya menuju akhirat. Sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran dan kemaksiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa. Jika pemilik ladang mengetahui bahwa hasil kerjanya tidak akan berhasil melainkan dengan menanam dan mengairinya disertai dengan pengawasan ketat, ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh melakukan segala cara untuk menumbuhkan tanamannya, memaksimalkannya, dan mencegah hama penyakit. Jika pelaku produksi mengetahui bahwa hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan bersungguh-sungguh. Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya, tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan. (ar-Riyadh an-Nadhirah, hlm. 125—126)
Catatan Kaki:
[1] Kehendak, kemampuan, dan perbuatan adalah sifat yang melekat pada makhluk. Oleh karena itu, kehendak, kemampuan, dan perbuatannya pun adalah makhluk juga. Hal ini karena sifat mengikuti yang disifati. Maka dari itu, Dzat yang menciptakan makhluk, Dia pula yang menciptakan sifat makhluk. (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu ‘Utsaimin)
###
Soal:
Sesuatu yang dimohon dalam doa, jika memang telah ditakdirkan untuk terjadi, pasti terjadi. Sama saja, apakah si hamba berdoa ataukah tidak. Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak terjadi, tidak akan mungkin akan terjadi, baik si hamba memohon maupun tidak.
Jawab:
Sekelompok orang memandang benar pernyataan di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Mereka sendiri, dengan kejahilan dan kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?” “Jika memang telah ditakdirkan engkau memiliki anak, pasti terjadi baik engkau berhubungan badan dengan istri maupun tidak. Jika memang sudah ditakdirkan engkau tidak memiliki anak, pasti tidak akan terjadi. Lalu, apa guna menikah?” Demikian juga hal-hal yang lain. Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Ada kelompok lain, sedikit lebih pandai daripada kelompok pertama. Mereka berpendapat, “Berdoa adalah ibadah murni. Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala bagi hamba yang mau berdoa. Berdoa tidak memiliki pengaruh terhadap apa yang diminta, dari sisi mana pun.” Menurut mereka, berdoa atau tidak adalah sama saja, tidak akan memberikan pengaruh terhadap apa yang diminta. Hubungan doa dan terjadinya keinginan, menurut mereka, sama dengan hubungan diam dengan terjadinya keinginan.
Ada kelompok lain yang berpendapat, “Doa hanyalah murni pertanda, yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai tanda terpenuhinya keinginan. Barang siapa diberi taufik untuk berdoa, hal itu sebagai tanda bahwa keinginannya telah terpenuhi.” Sama halnya dengan awan hitam pekat di musim penghujan yang menjadi tanda bahwa hujan akan turun. Dengan demikian, ketaatan hanyalah pertanda adanya pahala, bukan sebab. Kekufuran dan maksiat hanyalah pertanda siksa, bukan sebab. Masih menurut kelompok ini, tindakan memecahkan bukanlah “sebab” pecah, tindakan membakar bukan juga “sebab” kebakaran, dan melakukan perbuatan membunuh bukanlah “sebab” kematian. Hanya sebatas pertanda saja. Pendapat semacam ini berseberangan dengan akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan mereka.
Yang benar, sesuatu yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga memiliki “sebab-sebab” yang juga ditakdirkan. Berdoa termasuk “sebab” sehingga segala sesuatu tidak hanya ditakdirkan tanpa adanya “sebab”. Akan tetapi, ia ditakdirkan beserta “sebabnya”. Pada saat si hamba melaksanakan “sebab”, apa yang ditakdirkan akan terjadi. Namun, jika ia tidak melaksanakan “sebab”, yang ditakdirkan pun tidak terjadi. Hal ini sama dengan kenyang yang ditakdirkan terjadi dengan sebab makan, puas dari dahaga dengan sebab minum, memiliki anak dengan sebab berhubungan badan, menuai panen dengan sebab menanam benih, dan matinya hewan dengan sebab disembelih. Demikian juga, masuk ke dalam surga ditakdirkan dengan melakukan amalan saleh, dan masuk ke dalam neraka dengan sebab melakukan kejahatan.
Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum. Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.” Tidak ada “sebab” lain yang melebihi manfaat doa. Tidak pula ada “sebab” lain yang melebihi doa dalam hal mewujudkan keinginan. Oleh karena itu, para sahabat —sebagai generasi yang paling mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta generasi yang paling mengerti tentang agama— sangat kuat mewujudkan doa sebagai “sebab”, syarat-syarat dan adabnya, jika dibandingkan dengan orang lain. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu selalu memohon pertolongan dengan berdoa ketika menghadapi musuh. Doa merupakan bala tentaranya yang terbesar. Beliau Radhiyallahu ‘anhu sering mengingatkan pasukannya, “Sesungguhnya kalian tidak memperoleh kemenangan dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi, kalian mendapat kemenangan hanyalah dengan pertolongan dari langit.” Beliau juga sering menyampaikan, “Sesungguhnya aku tidak meragukan tentang dikabulkannya doa, namun aku khawatir hilangnya keinginan untuk berdoa. Apabila kalian mendapatkan kemudahan untuk berdoa, sesungguhnya dikabulkannya doa selalu mengiringi doa.” Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
(ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 22—24)
###
Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah catatan takdir manusia yang telah ada sebelum ia diciptakan?”
Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, doa dapat memberikan pengaruh untuk mengubah catatan takdirnya. Namun, perubahan itu pun telah tercatat juga sebagai takdir dengan sebab doa. Jangan mengira, jika Anda berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala berarti Anda telah meminta sesuatu yang tidak tercatat sebagai takdir! Doa juga telah tercatat sebagai takdir. Demikian juga hasil dari doa tersebut telah tercatat sebagai takdir. Oleh sebab itu, kita menyaksikan ada orang yang membacakan doa untuk orang sakit, kemudian sembuh. Kisah pasukan perang yang ditugaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dalil akan hal ini. Mereka singgah untuk bertamu di sebuah kampung, namun mereka tidak dijamu sebagai tamu. Lalu, ditakdirkan kepala kampung tersebut digigit oleh ular berbisa. Kemudian mereka memohon orang yang dapat membacakan doa untuk si kepala kampung. Akan tetapi, para sahabat mengajukan syarat, yaitu upah untuk melakukannya. Mereka lalu menyerahkan sekawanan kambing. Salah seorang sahabat lantas berangkat untuk membacakan al-Fatihah. Setelah itu, si sakit langsung berdiri seolah-olah ia baru saja lepas dari ikatan. Maksudnya, seperti seekor unta yang terlepas tali kekangnya. Benar, bacaan sahabat tersebut memiliki pengaruh untuk kesembuhan si sakit. Kesimpulannya, doa memang memiliki pengaruh, namun tidak mengubah takdir. Perubahan tersebut pun termasuk bagian dari takdir, yang terjadi dengan sebuah “sebab” yang juga telah ditakdirkan. Demikian juga seluruh “sebab”, ia memiliki pengaruh pada “akibat” dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, “sebab” adalah takdir yang tercatat, “akibat” pun takdir yang tercatat.
(Fatawa Aqidah, Fahd bin Nashir, hlm. 234)
###
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣَﺐَّ ﺃَﻥْ ﻳُﺒْﺴَﻂَ ﻓِﻲ ﺭِﺯْﻗِﻪِ ﻭَﻳُﻨْﺴَﺄَ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﺛَﺮِﻩِ ﻓَﻠْﻴَﺼِﻞْ ﺭَﺣِﻤَﻪُ
“Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan rahimnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini tidaklah bermakna bahwa seseorang memiliki dua umur yang berbeda; umur jika ia menyambung rahimnya dan umur jika ia tidak menyambung rahimnya. Setiap orang hanya memiliki satu umur dan yang ditetapkan baginya juga hanya satu. Seseorang yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala akan menyambung rahimnya, ia pasti akan menyambung rahimnya. Adapun orang yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala memutus hubungan rahimnya, pasti dan mesti, tidak mungkin tidak, ia akan memutus rahimnya. Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ingin mendorong umat beliau untuk melakukan amalan yang mengandung kebaikan. Sebagaimana kita katakan, ‘Siapa yang ingin punya anak, hendaklah ia menikah.’ Urusan menikah sudah ditetapkan, demikian pula anak. Jika Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki engkau memiliki anak niscaya Dia menginginkan engkau menikah, bersamaan dengan itu menikah dan memiliki anak masing-masingnya telah ditetapkan.
Demikian pula tentang rezeki yang telah dicatat dan ditetapkan dari asalnya. Telah pula ditetapkan bahwa engkau akan menyambung rahimmu. Akan tetapi, engkau tidak tahu tentang hal ini. Maka dari itu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendorong dan menerangkan kepadamu bahwa jika engkau menyambung rahimmu, Allah Subhanahu wa ta’ala akan membentangkan rezekimu dan memanjangkan umurmu. Walaupun segala sesuatu telah ditetapkan, namun karena silaturahim adalah hal yang semestinya ditunaikan oleh setiap insan, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memberi dorongan untuk melakukannya, dengan pernyataan beliau bahwa jika seseorang ingin rezekinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan, hendaknya ia menyambung rahimnya. Di sisi lain, perbuatan orang yang menyambung hubungan rahim telah ditetapkan dan telah pula ditetapkan umurnya sampai batas yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian, ketahuilah bahwa panjangnya umur dan lapangnya rezeki adalah urusan yang nisbi (relatif). Oleh karena itu, kita mendapati sebagian orang yang menyambung rahimnya rezekinya lapang pada beberapa urusan, namun umurnya pendek. Ini adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Kita katakan bahwa umurnya pendek padahal dia telah menyambung hubungan rahim. Seandainya dia tidak menyambung rahimnya, niscaya umurnya lebih pendek lagi. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa ta’ala telah menetapkan sejak zaman azali bahwa orang ini akan menyambung rahimnya dan telah menetapkan akhir umurnya sampai waktu tertentu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 2/111—112, fatwa no. 210)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar