Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Mei 2015

Tentang DETIK-DETIK MENJELANG KEMATIAN

Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi

Para pembaca yang berbahagia.
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak atau menghindar dari kematian. Kematian akan datang secara tiba-tiba tanpa bisa diperkirakan kapan saatnya. Dan detik-detik menjelang kematian adalah saat yang sangat menegangkan yang akan menentukan masa depan seorang apakah termasuk penduduk surga ataukah penduduk neraka. Oleh karena itulah, hendaklah kita memberikan bekal berupa nasehat kepada saudara kita yang sedang mengalami saat-saat yang paling menentukan dalam akhir kehidupannya. Beberapa bekal nasehat yang dapat kita berikan kepada saudara kita yang sedang menunggu detik-detik kematian adalah sebagai berikut:

(1) Berprasangka Baik Kepada Alloh

Tiga hari menjelang wafatnya Rasululloh, beliau sempat memberikan wasiat:
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ
Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan berprasangka baik kepada Alloh. (HR. Muslim no. 2877)
Hadits ini memberikan peringatan kepada kita semua untuk tidak boleh putus asa dari rahmat Alloh dan memberikan motivasi untuk berharap mendapatkan akhir kehidupan yang baik.
Makna seorang berprasangka baik kepada Alloh adalah dia berprasangka bahwa Alloh akan merahmatinya dan memaafkan dosa-dosanya.
Seorang hamba tatkala berada di ambang kematian hendaklah memperbesar prasangka baiknya kepada Alloh, lebih besar kadarnya dibandingkan tatkala dalam keadaan sehat. Dan kepada orang-orang yang hadir di dekatnya, hendaklah mengingatkannya untuk selalu berprasangka baik kepada Alloh. Dan tidak mengapa bagi seorang di saat menjelang kematiannya untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan dirinya dalam rangka memperkuat hatinya dan menumbuhkan prasangka baiknya kepada Alloh. Sebagaimana kisah Abu Sufyan di saat menjelang kematiannya, beliau mengatakan kepada keluarganya: Janganlah kalian menangisi aku, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengucapkan suatu kesalahan semenjak aku masuk Islam. (ats-Tsabat Indal Mamat, hal. 120)
Dikisahkan dari Ibrahim bin Abu Bakr bin Ayyasy bahwasanya beliau menangis tatkala menyaksikan ayahnya berada di ambang kematian. Kemudian sang ayah berkata: Apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau melihat bahwasanya Alloh menyia-nyiakan ayahmu selama 40 tahun, mengkhatamkan al-Quran setiap malam? (Shifatu Shofwah, juz 2 hal. 96)

(2) Menghadirkan Rasa Takut Dan Harapan

Para ulama mengatakan bahwa tatkala seorang hamba berada dalam keadaan sehat maka hendaklah dia menyeimbangkan antara rasa takut dan harapan. Namun ada yang berpendapat bahwa hendaklah rasa takutnya lebih diperbesar dibandingkan harapannya. Kemudian tatkala mendekati kematian, maka rasa harapanlah yang lebih diperbesar dibandingkan rasa takutnya.
Yang dimaksud dengan rasa takut di sini adalah takut kepada Alloh dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Adapun rasa harapan adalah berharap kepada Alloh untuk mendapatkan ampunan dan rahmat.
Suatu ketika Rasululloh shallallahu alaihi wasallam menjenguk seorang pemuda yang sedang di ambang kematiannya. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada si pemuda: Bagaimana engkau mendapati dirimu? Si pemuda menjawab: Aku berharap kepada Alloh wahai Rasululloh dan aku takut terhadap dosa-dosaku. Maka Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah terkumpul 2 sifat ini (yaitu takut dan harapan) dalam hati seorang hamba dalam kondisi yang seperti ini (di ambang kematian) melainkan Alloh akan berikan kepadanya apa yang dia harapkan dan akan menjaganya dari apa yang dia takuti. (HR. at-Tirmidzi no. 983, lihat ash-Shahihah no. 1051)

(3) Memperbaiki  Dan Memperbarui Keimanan

Orang yang akan meninggal dunia hendaklah diberi nasehat untuk memperbaiki dan memperbarui keimanannya apakah terdapat keraguan dalam hatinya terhadap Islam, pemahaman yang menyimpang  atau bahkan noda-noda kesyirikan. Sehingga jangan sampai ia mati diatas keadaan yang demikian. Naudzubillah min dzalika.
Maka wajib baginya untuk bersungguh-sungguh dalam memperhatikan keimanannya, bertaubat dari berbagai kesalahan dan mencari keridhoan Alloh.

(4) Dituntun Untuk Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah

Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Talkinkanlah (tuntunlah) orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dengan bacaan Laa Ilaaha Illallaah. (HR. Muslim no. 916 dan 917)
Orang yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia hendaklah menuntunnya agar bisa mengucapkan kalimat tauhid tersebut. Para ulama mengatakan bahwa menuntun orang yang akan meninggal dunia agar bisa mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah adalah sunnah yang telah diamalkan oleh kaum muslimin. Tujuannya adalah agar akhir ucapannya mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, sehingga sang mayit pun akan mendapatkan jaminan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasululloh shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله دَخَلَ الْجَنَّة
Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallaah maka dia akan masuk surga. (HR. Abu Dawud no. 3116, lihat al-Irwa no. 687)
Bimbinglah orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah dengan cara yang lembut, agak ditinggikan suaranya dan penuh kesabaran. Kemudian apabila dia telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah maka hendaklah diam dan jangan berkata sesuatu apapun. Kemudian apabila orang tersebut telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah namun mengucapkan kalimat yang lain seperti berilah aku minum atau yang lainnya maka hendaklah dituntun kembali dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, sampai dia meninggal dalam keadaan kalimat terakhir yang dia diucapkan adalah Laa Ilaaha Illallaah.
Dan dengan terus membimbing orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, maka akan menjaganya dari godaan setan. Karena sesungguhnya setan akan selalu hadir di hadapan orang yang akan meninggal dunia, berusaha untuk merusak akidahnya. Oleh karena itulah penting kiranya bagi orang-orang yang hadir terutama keluarganya untuk lebih perhatian dalam masalah ini.

(5) Peringatan Dari Bahaya Suul Khatimah

Sungguh benar, seorang hamba yang sedang berada di ambang kematian maka setan akan hadir di hadapannya. Demikian pula teman-teman duduknya dahulu ketika di dunia. Yang mana dikhawatirkan dari hal ini, orang yang akan meninggal tersebut akan mengalami suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
Al-Imam Mujahid berkata: Tidaklah seorang yang akan meninggal dunia melainkan akan hadir di hadapannya teman-teman duduknya, apabila mereka adalah orang-orang yang suka main-main berarti dia adalah orang yang suka main-main. Apabila mereka adalah orang-orang yang suka berdzikir berarti dia adalah orang yang suka berdzikir. (at-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirat, hal. 188)
Disebutkan oleh al-Imam al-Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirat, beberapa kisah tentang orang-orang yang mengalami suul khatimah. Di antaranya adalah ketika dikatakan kepada seorang yang akan meninggal dunia di negeri Syam, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, namun akhir kehidupannya ditutup dengan ucapan: Minumlah, berilah aku minum. Kemudian dikatakan kepada seorang tukang timbangan di negeri Ahwaz yang sedang berada diambang kematian, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, namun akhir kehidupannya ditutup dengan ucapan: Sepuluh, sebelas, dua belas. Dan kisah tentang beberapa tukang makelar tatkala menjelang kematiannya, kemudian ada yang berkata, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah. Namun akhir kehidupan mereka ditutup dengan ucapan, Tiga setengah, empat setengah. Naudzubillah min dzalik.
Dan bahaya akibat pertemanan dengan orang-orang yang jelek akan berpengaruh pada akhir kehidupan seseorang. Sebagaimana hal ini terjadi pada diri Abu Tholib, paman Rasululloh shallallahu alaihi wasallam yang pembelaannya terhadap perjuangan Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dalam menyebarkan Islam sungguh luar biasa. Tatkala menjelang kematian Abu Tholib, hadir di hadapannya Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dan 2 orang pembesar musyrikin Quraisy yaitu Abu Jahl dan Abdulloh bin Abi Umayyah. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Tholib: Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, sebuah kalimat yang akan menjadi saksi bagimu di hadapan Alloh. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam sungguh sangat berharap dengan keislaman Abu Tholib. Sementara Abu Jahl dan Abdulloh bin Abi Umayyah mengatakan: Apakah engkau membenci agama Abdul Mutholib? Dua pembesar musyrikin Quraisy tersebut berusaha menghalang-halangi Abu Tholib untuk masuk ke dalam Islam. Namun Rasululloh shallallahu alaihi wasallam terus menerus mengulang ucapannya, sementara 2 orang tersebut juga terus-menerus mengulang ucapan yang sama. Sampai akhirnya kalimat terakhir yang diucapkan oleh Abu Tholib adalah tetap berada di atas agama Abdul Mutholib yaitu agama kesyirikan. Naudzubillahi min dzalika min suil khatimah.

Nurussunnah Tegal

###

Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman, dll), atau amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, bila memungkinkan.

Bila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam perkara tersebut. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)

Dari Abu Huraiah radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya atau sesuatu yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih, akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Jabir radhiyallahu'anhu, dia berkata:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ
“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)

Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.

Allah Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhum, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau berkata:
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”

Dan Ibnu Umar radhiyallahu'anhum berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata (At-Tamhid, 14/292): “Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.

Diperbolehkan baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas radhiyallahu'anhum berkata: “Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼ dalam hal wasiat. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)

Wasiat tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata (Al-Ijma’ hal. 100): “Para ulama sepakat bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471): “Ketika wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris, serta mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat itu haram hukumnya, berdasarkan ijma’ dan dengan Al-Qur`an:

“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Al-Ma`idah: 12)

Adapun wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wasiat tersebut batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiyallahu'anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku ini apa yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)

Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18): “Ketika adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah, maka termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah, untuk mengamalkan firman Allah Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Oleh karena itulah, para sahabat mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:

a. Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu'anhu) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:
أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ
“Buatlah liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.”

b. Dari Abu Burdah dia berkata: Abu Musa radhiyallahu'anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal: “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya dengan kuat untuk mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi adat kebiasaan yang berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan dikuatkan perkara tersebut (dengan wasiat).”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan
Asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar