Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Maret 2015

Tentang MINTA IZIN DAN MEMBERI SALAM SEBELUM MASUK RUMAH ORANG LAIN

Pada kesempatan kali ini, kami ingin memberikan faedah-faedah seputar permasalahan adab minta izin, karena agama Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam permasalahan ini, Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” [QS. An-Nuur: 27]

Al-‘Allaamah asy-Syinqithi rahimahullah berkata: Ketahuilah bahwa ayat ini menunjukan dengan jelas bahwa seseorang masuk ke rumah orang lain tanpa izin adalah tidak diperbolehkan. Karena firman-Nya “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu” adalah larangan yang jelas. [Adhwaaul Bayan : 5/493]
Al-‘Allaamah as-Sa’di Rahimahullah berkata: Allah yang Maha Mengadakan membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka tidak masuk ke rumah orang lain tanpa izin, karena padanya banyak kerusakan-kerusakan (yang akan timbul). [Tafsir as-Sa’di, hal. 565]

Dari Sahl bin Sad as-Saaidi radhiyallahu ‘anhu:
أَخْبَرَهُ أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ فِي جُحْرٍ فِي بَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِدْرًى يَحُكُّ بِهِ رَأْسَهُ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ أَعْلَمُ أَنَّكَ تَنْتَظِرُنِي لَطَعَنْتُ بِهِ فِي عَيْنِكَ. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلَ الْإِذْنُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
Telah mengabarkan kepadanya; Bahwa ada seorang laki-laki mengintip ke rumah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melalui lubang pintu. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang menyisir rambut dengan sebuah sisir besi. Tatkala beliau mengetahui ada orang mengintip. Beliau berkata: Kalau aku tahu engkau mengintip, pasti aku tusuk matamu. Lalu beliau bersabda: “Sesunggunya disyariatkannya izin (untuk masuk rumah) demi menjaga penglihatan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Disyariatkan (minta izin masuk rumah) demi hal ini (menjaga pandangan), karena kalau orang tersebut masuk tanpa minta izin (terlebih dahulu) maka dia akan melihat sebagian perkara-perkara yang tidak disukai oleh pemilik rumah untuk dilihat.” [Fathul Bari: 11/24]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Maknanya adalah meminta izin merupakan perkara yang disyariatkan dan diperintahkan. Sesungguhnya hal tersebut disyariatkan agar pandangan (mata) tidak jatuh ke dalam perkara yang haram. Tidak boleh bagi seseorang melihat ke lubang pintu (rumah orang lain) atau yang selainnya, di antaranya karena hal tersebut bisa menjerumuskan pandangan dia untuk melihat wanita asing (yang bukan mahramnya). [Syarah an-Nawawi: 14/137-138]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ بَعْضِ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ إِلَيْهِ بِمِشْقَصٍ أَوْ مَشَاقِصَ، فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْتِلُهُ لِيَطْعُنَهُ
Bahwa ada seorang laki-laki melongokkan kepalanya ke salah satu kamar Nabi Shallallahu alaihi wasallam, lantas Nabi Shallallahu alaihi wasallam berdiri menemuinya dengan membawa sisir, dan seolah-olah aku melihat beliau menakut-nakuti hendak mencolok laki-laki itu. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

FAEDAH:
Orang yang melongok ke dalam rumah orang lain atau mengintip lewat lubang pintu atau jendela rumah orang tersebut, maka hukumnya sama seperti masuk ke rumah orang tersebut tanpa izin.
Berkata al-Imam An-Nawawi rahimahullah: Bolehnya melempar mata orang yang mengintip dengan benda yang ringan. Dan kalau seandainya hal ini membutakan matanya maka tidak ada tanggungan jika orang tersebut (yang mengintip) telah melihat ke dalam sebuah rumah yang padanya tidak ada wanita mahramnya, wallahu a’alam. [Syarah an-Nawawi: 14/138]
Catatan: Yaitu tidak ada tanggungan membayar diyat dan juga qishash. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan dipilih asy-Syaukani rahimahullah.
Hadits ini bersifat umum, yaitu mencakup mahram kita. Tidak boleh kita mengintip ke kamarnya atau melongok lewat jendelanya, karena hal ini bisa menjatuhkan pandangan dia ke dalam perkara yang haram, yaitu melihat aurat mahramnya yang tidak boleh dilihat olehnya.

Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا فِي مَجْلِسٍ عِنْدَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، فَأَتَى أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ مُغْضَبًا حَتَّى وَقَفَ، فَقَالَ: أَنْشُدُكُمُ اللهَ هَلْ سَمِعَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ، وَإِلَّا فَارْجِعْ» قَالَ أُبَيٌّ: وَمَا ذَاكَ؟ قَالَ: اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمْسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي فَرَجَعْتُ، ثُمَّ جِئْتُهُ الْيَوْمَ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَأَخْبَرْتُهُ، أَنِّي جِئْتُ أَمْسِ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا، ثُمَّ انْصَرَفْتُ. قَالَ: قَدْ سَمِعْنَاكَ وَنَحْنُ حِينَئِذٍ عَلَى شُغْلٍ، فَلَوْ مَا اسْتَأْذَنْتَ حَتَّى يُؤْذَنَ لَكَ قَالَ: اسْتَأْذَنْتُ كَمَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَوَاللهِ، لَأُوجِعَنَّ ظَهْرَكَ وَبَطْنَكَ، أَوْ لَتَأْتِيَنَّ بِمَنْ يَشْهَدُ لَكَ عَلَى هَذَا، فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ: فَوَاللهِ، لَا يَقُومُ مَعَكَ إِلَّا أَحْدَثُنَا سِنًّا، قُمْ، يَا أَبَا سَعِيدٍ، فَقُمْتُ حَتَّى أَتَيْتُ عُمَرَ، فَقُلْتُ: قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هَذَا
“Suatu ketika kami sedang berada di Majelis Ubay bin Kaab, tiba-tiba Abu Musa al-Asyari datang dalam keadaan marah, lalu beliau berdiri seraya berkata; Demi Allah, apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi: Meminta izin itu hanya tiga kali, apabila di izinkan maka kalian boleh masuk, jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka pulanglah. Ubay berkata; memang ada apa dengan hadits tersebut? Abu Musa menjawab; Kemarin aku telah meminta izin kepada Umar sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban, maka akupun pulang kembali. Lalu pada hari ini aku mendatanginya lagi dan aku kabarkan kepadanya bahwa aku telah menemuinya kemarin dan sudah aku ucapkan salam sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Dan Umar menjawab; kami telah mendengarmu, yang pada waktu itu kami memang sedang sibuk hingga tidak sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu? Abu Musa menjawab; Aku meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu Umar berkata; Demi Allah, aku akan menghukum kamu hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadits itu. Kemudian Ubay bin Kaab berkata; Demi Allah, tidak akan ada yang menjadi saksi atasmu kecuali orang yang paling muda di antara kami. Berdirilah wahai Abu Said! lalu akupun berdiri hingga aku menemui Umar, dan aku katakan kepadanya; Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mengenai hadits tersebut.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Anas atau selainnya:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَأْذَنَ عَلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، فَقَالَ:  السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ، فَقَالَ سَعْدٌ: وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ، وَلَمْ يُسْمِعِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى سَلَّمَ ثَلَاثًا، وَرَدَّ عَلَيْهِ سَعْدٌ ثَلَاثًا، وَلَمْ يُسْمِعْهُ فَرَجَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّبَعَهُ سَعْدٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، مَا سَلَّمْتَ تَسْلِيمَةً إِلَّا هِيَ بِأُذُنِي، وَلَقَدْ رَدَدْتُ عَلَيْكَ وَلَمْ أُسْمِعْكَ، أَحْبَبْتُ أَنْ أَسْتَكْثِرَ مِنْ سَلَامِكَ، وَمِنَ الْبَرَكَةِ، ثُمَّ أَدْخَلَهُ الْبَيْتَ فَقَرَّبَ لَهُ زَبِيبًا، فَأَكَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ:  أَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ
Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta izin kepada Sa`d bin Ubadah, beliau bersabda: Assalaamu alaikum wa rahmatullah, maka Sa`d pun menjawab, Wa alaikas salam wa rahmatullah. Ia sengaja tidak memperdengarkannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hingga beliau mengulanginya tiga kali. Dan Sa`d pun menjawabnya tiga kali, namun ia tidak memperdengarkannya kepada beliau. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun pulang dan Sa`d mengikutinya dari belakang. Lalu ia berkata; Wahai Rasulullah, aku ingin memperbanyak mendapat keselamatan dan barakah (dari do`amu). Setelah itu ia mengajak masuk Rasulullah ke dalam rumahnya dan menghidangkan anggur, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam pun memakannya. Setelah makan beliau bersabda: Yang telah memakan makananmu adalah orang-orang yang baik, para malaikat telah bershalawat kepada kalian, dan orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian. [HR. Ahmad, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

FAEDAH:
Minta izin dilakukan sebelum masuk rumah seseorang. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” [QS. An-Nuur : 27]
Jika seseorang telah memberi salam dan mengetuk pintu rumah seseorang sebanyak tiga kali, sedangkan dia tidak mendengar jawaban dari pemiliki rumah, maka hendaknya dia pulang, dan jangan mengetuk pintu kembali untuk keempat kalinya.
Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah:  Para ulama sepakat bahwa meminta izin adalah perkara yang disyariatkan. Dan hal tersebut telah ditunjukkan dalam dalil-dalil dari al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’nya umat ini. Bentuk sunnahnya (minta izin) adalah memberi salam dan minta izin sebanyak tiga kali. [Syarah Shahih Muslim:14/130-131]
Muhamad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata: Ketahuilah, sesungguhnya minta izin (dilakukan) sebanyak tiga kali dengan mengucapkan, ‘Assalaamu ‘aikum, bolehkah saya masuk?’ Dan jika dia tidak diizinkan setelah tiga kali (mengucapkan salam), maka hendaknya dia pulang, dan jangan menambah (mengucapkan salam) lebih dari tiga kali. [Adhwaul Bayan : 5/493]

(Abdullah bin Umar berkata:)
إِذَا دَخَلَ الْبَيْتَ غَيْرَ الْمَسْكُونِ فَلْيَقُلِ: السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
Jika seseorang masuk ke dalam rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaknya dia mengucapkan, ASSALAAMU ‘ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN’ (semoga keselamatan senantiasa tercurahkan atas kami dan hamba-hamba Allah yang shalih). [HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad no. 1055, dihasankan oleh al-‘Allamah al-Albani rahimahullah]

Faedah:
Disunnahkan bagi seorang muslim ketika mau masuk rumah untuk mengucapkan salam, baik itu rumahnya sendiri maupun rumah orang lain, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. [QS. An-Nuur: 61]
Berkata Qatadah rahimahullah: Apabila kalian masuk menemui keluarga kalian, maka ucapkanlah salam kepada mereka, dan apabila kamu masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni maka ucapkanlah, ‘ASSALAAMU ‘ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN’. [Tafsir Ibnu Katsir: 6/87]
Berkata al-‘Allamah al-Albani rahimahullah: “Di dalam Atsar ini terdapat syariat mengucapkan salam bagi siapa saja yang akan masuk ke dalam rumah yang tidak berpenghuni. Hal ini termasuk bentuk menebar salam yang diperintahkan dalam sebagian hadits-hadits yang shahih dan juga dalam zhahir firman-Nya Ta’ala:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri.” [QS. An-Nuur: 61]
Sungguh Al-Hafizh telah berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar tentang apa yang saya sebutkan. Kemudian beliau setelah itu menyebutkan: Disunnahkan apabila tidak ada orang yang tinggal dalam rumah itu untuk mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”. [As-Silsilah Adh-Dha’ifah 13/409]
Berkata al-‘Allamah as-Sa’di rahimahulah ketika menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri.” [QS. An-Nuur :61]
Nakirah dalam konteks syarat (memberikan makna umum), mencakup rumah sendiri maupun orang lain, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tidak. Apabila seseorang akan masuk maka berilah salam kepada dirinya, yakni saling memberikan salam, karena kaum muslimin laksana satu tubuh, baik dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi. Mengucapkan salam merupakan perkara yang disyariatkan ketika masuk ke rumah siapa saja, tanpa membedakan antara satu rumah dengan yang lainnya. Kemudian (dalam firman tersebut) Allah memuji salam ini dengan firman-Nya, ‘salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik’. [lihat kelengkapannya dalam Tafsir as-Sa’di hal. 575]

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم في دين كان على أبي فدققت الباب فقال: من ذا فقلت: أنا فقال: أنا أنا كأنه كرهها
"Aku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karena hutang ayahku, lalu aku mengetuk pintu rumah beliau, beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Siapakah itu?" Aku menjawab; "Saya." Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya! saya!" Seolah-olah beliau shallallahu 'alaihi wasallam membencinya." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

FAEDAH:
Hadits di atas memberikan faedah diperbolehkannya mengetuk pintu rumah orang yang akan dia kunjungi.
Berkata Ibnul Araby rahimahullah: Dalam hadits Jabir ini terdapat syariat mengetuk pintu, namun dalam hadits ini tidak ada penjelasan apakah mengetuknya dengan alat atau tanpa
alat. [Fathul Bari 11/36]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: Telah diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata:
إن أبواب النبي صلى الله عليه وسلم كانت تقرع بالأظافير
Sesungguhnya pintu-pintu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diketuk dengan jari-jari. [Dishahihkan oleh al-Allamah al-Albani, lihat Ash-Shahihah no. 2092]
Beliau berkata: Hal ini dibawa kepada makna kesungguh-sungguhan dalam (menjaga) adab, hal ini merupakan perkara yang baik bagi pemilik rumah yang kamarnya berada di dekat pintu. Adapun bagi yang keberadaannya jauh dari pintu, di mana suara ketukan pintu dengan jari tidak sampai kepadanya, maka boleh mengetuknya dengan sesuatu yang lebih keras dari itu (ketukan jari) dengan menyesuaikan keadaan. [Fathul Bari 11/36]
Jika rumah tersebut dipasang bel pintu, maka cukup bagi kita memencet bel tersebut, sebagai pengganti mengetuk pintu. Biasanya bel ini dipasang karena keberadaan kamar atau berkumpulnya pemilik rumah jauh dari pintu utama.

FAEDAH LAINNYA:
Sepantasnya bagi orang yang bertamu apabila ditanya oleh tuan rumah: Siapakah kamu? Maka jawablah dengan menyebutkan namanya. Sungguh kami dapatkan dari sebagian kita, apabila bertamu dan ditanya oleh pemilik rumah dari balik pintu: Siapakah kamu? maka dia menjawab: Saya pak! Saya pak!
Ini merupakan adab yang tidak baik, karena dia tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan pemilik rumah dan juga dengan jawaban itu, pemilik rumah masih belum bisa mengenal siapakah yang bertamu. Seharusnya ketika ditanya maka jawablah dengan menyebut nama atau kunyah jika dia dikenal dengan kunyahnya, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam hadits Ummu Hani’ binti Abu Thalib radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
 ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ فَقَالَ: «مَنْ هَذِهِ؟» فَقُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ
Aku pergi menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat pembukaan Kota Makkah, lalu aku dapati beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya. Beliau lalu bertanya: Siapa ini? Aku menjawab: Ummu Hani. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah: “Berkata para ulama, apabila seorang minta izin (masuk), kemudian dikatakan padanya: Siapakah kamu? Atau: Siapakah itu? Maka tidak disukai jika dia menjawab: ‘Saya!’ dengan dasar hadits ini. Dan juga (dengan jawaban tersebut) tidak menghasilkan faedah (bagi pemilik rumah), bahkan kesamaran masih tetap ada (padanya). Akan tetapi hendaknya dia menyebutkan: ‘Saya Fulan’, yaitu dengan menyebut namanya.”  [Syarah an-Nawawi:14/135-136]
Berkata al-Imam asy-Syinqithi rahimahullah: “Ketahuilah, bahwa apabila seorang minta izin (masuk), kemudian pemilik rumah bertanya: Siapakah kamu? Maka tidak boleh dia menjawab: ‘Saya’, akan tetapi (hendaknya) dia menyebutkan nama dan kunyahnya jika memang dia terkenal dengan itu, karena lafazh ‘Saya’ digunakan oleh setiap orang untuk dirinya, sehingga dengan lafazh itu pemilik rumah tetap tidak dapat mengetahui siapakah yang minta izin (bertamu).” [Tafsir Adwaul Bayan: 5/499]

Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ، وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ، أَوِ الْأَيْسَرِ، وَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ» وَذَلِكَ أَنَّ الدُّورَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ سُتُورٌ
“Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak berdiri di depan pintu, tetapi beliau berada di sisi sebelah kanan atau kirinya seraya mengucapkan: Assalamu ‘alaikum, Assalamu ‘alaikum. Sebab saat itu rumah-rumah belum ada yang mengunakan satir.” [HR. Abu Dawud, dishahihkan al-‘Allamah al-Albani]

Faedah:
Kita telah mempelajari beberapa adab minta izin:
- Menjaga pandangan, yang mana ketika kita akan bertamu tidak boleh bagi kita melongok lewat kaca atau jendela pemilik rumah.
- Minta izin dilakukan sebanyak tiga kali, jika tidak ada jawaban maka hendaknya pergi.
- Bentuk minta izinnya adalah dengan mengucapkan salam ketika ingin bertamu atau masuk ke rumah, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tidak.
- Boleh bagi kita mengetuk pintu jika memang ucapan salam kita tidak terdengar oleh pemilik rumah.
Adapun pembahasan kita kali ini adalah apa yang harus kita lakukan setelah kita mengetuk pintu?
Dalam hadits Abdullah bin Busr di atas menjelaskan bahwa adab kita setelah mengetuk pintu, janganlah kita menghadap ke pintu ketika menunggu pemilik rumah keluar, tetapi hendaknya dia menghadap atau berdiri di samping kanan pintu atau kirinya, hal ini agar mata kita tidak jatuh kepada perkara-perkara yang tidak diinginkan, seperti melihat keluarga pemilik rumah atau perkara yang lain yang mana pemilik rumah tidak suka jika orang lain melihatnya.
Berkata Syaraful Haq dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud 14/60: “Beliau tidak berdiri di depan pintu” yaitu tidak berdiri menghadap ke pintu, hal ini agar pandangan kita (ketika pintu dibuka) tidak melihat kepada keluarga pemilik rumah (yang berada di dalam). “Tetapi beliau berada di sisi sebelah kanan atau kirinya” yaitu akan tetapi beliau memiringkan (badan) menghadap ke arah kanan pintu atau ke kiri.
Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab ‘Al-Adabul Mufrad no. 1078:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ صَاحِبُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] كَانَ إِذَا أَتَى بَابًا يُرِيدُ أَنْ يَسْتَأْذِنَ لَمْ يَسْتَقْبِلْهُ؛ جَاءَ يَمِينًا وَشِمَالًا؛ فَإِنْ أُذن لَهُ وَإِلَّا انْصَرَفَ
“Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila beliau mendatangi sebuah pintu untuk meminta izin (masuk kepada tuan rumah), beliau tidak menghadap ke arah pintu tetapi beliau berada di sebelah kanan atau sebelah kiri. Jika diizinkan, (beliau masuk). Jika tidak, maka beliau pergi.” [Dihasankan al-‘Allamah al-Albani]
عَن عبد الله بن بسر رَضِي الله عَنهُ قَالَ سَمِعت رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يَقُول لَا تَأْتُوا الْبيُوت من أَبْوَابهَا وَلَكِن ائتوها من جوانبها فَاسْتَأْذنُوا فَإِن أذن لكم فادخلوا وَإِلَّا فَارْجِعُوا
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendatangi rumah-rumah dari arah depan pintunya, namun datangilah dari arah samping pintu lalu mintalah izin. Apabila diizinkan untuk kalian, maka masuklah, dan bila tidak (diberi izin), maka pulanglah.” [HR. Ath-Thabrani, dihasankan al-‘Allamah al-Albani]
Faedah yang lainnya adalah hendaknya kita memasang korden pintu jika memang ketika pintu dibuka, orang yang berada di luar rumah bisa melihat keluarga kita yang berada di dalam rumah.

Dari Abdurahman bin Muawiyah bin Hudaij, dari ayahnya berkata:
قدمت على عمر بن الخطاب رضي الله عنه فاستأذنت عليه فقالوا لي: مكانك حتى يخرج إليك فقعدت قريبا من بابه. قال: فخرج إلي فدعا بماء فتوضأ ثم مسح على خفيه فقال: يا أمير المؤمنين أمن البول هذا قال: من البول أو من غيره. رواه البخاري في الأدب المفرد. قال الألباني رحمه الله في صحيح الأدب المفرد: حسن الأسناد
Saya pernah mendatangi Umar
bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, kemudian saya meminta izin masuk kepadanya. Orang-orang di sana berkata kepadaku, 'Duduklah di tempatmu sampai dia keluar menemuimu.' Maka aku pun duduk di dekat pintunya. Kemudian Umar radhiyallahu 'anhu keluar menemuiku. Dia lalu meminta dibawakan air untuk berwudhu. Kemudian beliau mengusap kedua sepatunya. Aku berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, apakah (wudhu yang kau lakukan ini) karena kencing?' Dia menjawab, Karena kencing dan yang lainnya.
[HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad. Dihasankan al-Allamah al-Albani]

FAEDAH:
1. Apabila kita telah memberi salam dan mengetuk pintu, maka hendaknya kita menunggu sebentar sampai pemilik rumah keluar.
2. Hendaknya dia duduk tidak jauh dari pintu ketika menunggu pemilik rumah keluar, namun tidak boleh duduknya menghadap ke arah pintu sebagaimana telah lewat penjelasannya.
3. Apabila pemilik rumah tetap belum keluar dari rumahnya, padahal dia telah mengetuk pintu dan memberi salam tiga kali serta menunggunya, maka hendaknya dia pergi dan jangan mengetuk pintu dan memberi salam lagi, hal ini sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abul Aliyah, ia berkata:
أتيت أبا سعيد الخدري فسلمت فلم يؤذن لي ثم سلمت فلم يؤذن لي ثم سلمت الثالثة. فرفعت صوتي وقلت: السلام عليكم يا أهل الدار فلم يؤذن لي فتنحيت ناحية فقعدت فخرج إلي غلام فقال: ادخل فدخلت فقال لي أبو سعيد: أما إنك لو زدت لم يؤذن لك فسألته عن الأوعية فلم أسله عن شيء إلا قال: حرام حتى سألته عن الجف فقال: حرام. فقال محمد: يتخذ على رأسه إدم فيوكأ
Saya pernah mendatangi (rumah) Abu Sa'id al-Khudri. Aku memberi salam, tetapi tidak diberi izin. Kemudian aku memberi salam lagi, tetapi tidak juga diberi izin. Lalu aku memberi salam yang ketiga kalinya dengan mengangkat suaraku sambil berkata, 'Assalamu alaikum, wahai penghuni rumah.' Tetapi tetap tidak diberi izin. Akhirnya, saya pergi ke salah satu pojok rumah lalu duduk di situ. Kemudian keluar seorang budak kecil dan berkata, 'Masuklah.' Maka saya pun masuk. Abu Sa'id berkata kepadaku, 'Kalau saja tadi engkau salam sekali lagi, pastilah engkau tidak akan diizinkan masuk.' Lalu aku bertanya kepadanya tentang bejana-bejana (tempat membuat khamer). Tidak ada satupun pertanyaanku melainkan dia jawab, 'Haram.' Hingga aku bertanya kepadanya tentang juf (bejana dari kulit yang tidak diikat). Dia menjawab, 'Haram.'
Muhammad -bin Sirin- (yang meriwayatkan dari Abu al-'Aliyah) berkata, 'Di bagian atasnya diikat dengan tali dari kulit sehingga tertutup.
[HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad. Dishahihkan al-Allamah al-Albani]

Dari Kaladah bin Hambal:
أخبره أن صفوان بن أمية بعثه بلبن ولبأ وضغابيس إلى النبي صلى الله عليه وسلم والنبي صلى الله عليه وسلم بأعلى الوادي قال: فدخلت عليه ولم أسلم ولم أستأذن فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ارجع فقل: السلام عليكم أأدخل، وذلك بعد ما أسلم صفوان
Telah mengabarkan kepadanya bahwa Shufwan bin Umayyah mengutusnya untuk membawa susu, susu yang baru diperah dan mentimun kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tengah berada di atas lembah. Kaladah berkata: Kemudian aku menemui beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa izin, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kembalilah dan ucapkan: Assalaamu 'alaikum, apakah aku boleh masuk?" Peristiwa itu terjadi setelah Shufwan masuk Islam. [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan al-Allamah al-Albani]

FAEDAH:
1. Syariat Islam yang Agung, mengajarkan umatnya untuk memperhatikan adab-adab minta izin.
2. Hendaknya seorang yang bertamu, dia masuk dalam keadaan terpuji, yaitu masuk minta izin dan memberi salam.
3. Apabila tamu masuk ke dalam rumah orang tanpa minta izin dan memberi salam terlebih dahulu, maka hendaknya segera keluar dari rumah tersebut, kemudian minta izin dan memberi salam.
4. Larangan bagi orang yang bertamu masuk ke rumah orang tanpa izin.

Dari Abdurrahman bin Jud'an beliau berkata:
كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَاسْتَأْذَنَ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ فَقِيلَ: ادْخُلْ بِسَلَامٍ فَأَبَى أَنْ يدخل عليهم
Saya pernah bersama Abdullah bin Umar. Dia meminta izin masuk kepada penghuni suatu rumah. Penghuni rumah itu menjawab, "Masuklah dengan mengucapkan salam." (Mendengar jawaban itu) Ibnu Umar tidak jadi masuk ke rumah mereka. [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, asy-Syaikh al-Albani berkata: Sanadnya Shahih]

FAEDAH:
Telah lewat dalam pembahasan yang lalu, bahwa disyariatkan mengucapkan salam sebelum  masuk ke rumah, baik rumah sendiri maupun orang lain. Demikian pula diperbolehkan bagi tamu mengetuk pintu apabila memang ucapan salamnya tidak terdengar oleh pemilik rumah.
Dalam hadits ini, terdapat faedah tambahan dari apa yang telah berlalu;
1. Bolehnya bagi tamu mengurungkan diri untuk bertamu jika ada maslahatnya, meskipun sudah diizinkan masuk.
2. Ibnu Umar adalah sahabat yang mulia yang terkenal dengan semangatnya dalam mengaplikasikan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dirinya dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak mungkin tersamarkan oleh beliau syariat memberi salam sebelum masuk rumah orang. Oleh karena itu dalam hadist ini, beliau membatalkan untuk masuk ke rumah tersebut karena beberapa kemungkinan;
a. Barangkali alasan beliau karena ada maslahat secara syar’i.
b. Atau barangkali beliau memandang pemilik rumah tersebut telah mengejek beliau atau mengejek syariat salam. Karena kemungkinan besar beliau telah memberi salam, namun dari sikap pemilik rumah tersebut seolah-olah menuduh Ibnu ‘Umar masuk rumah tanpa memberi salam.
Berkata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah: “Yang demikian itu, karena tidak mungkin sekaliber shahabat Ibnu ‘Umar tidak mengetahui sunnahnya minta izin dengan memberi salam, atas dasar ini beliau pasti sudah memberi salam ketika minta izin. Oleh karena itu, ketika dikatakan kepada beliau, ‘Masuklah dengan mengucapkan salam’ maka tindakan beliau tersebut menjadi tidak berguna, atau bisa jadi ucapan sang pemilik rumah tersebut (dianggap oleh beliau sebagai) hinaan, oleh karenanya beliau mengurungkan diri untuk masuk. Penjelasan kami ini didukung oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf beliau (8/647) dengan sanad yang lain dan berstatus shahih. Lafazhnya adalah sebagai berikut: Dari Abu Majlaz, dia berkata: Apabila Ibnu Umar meminta izin, kemudian dijawab dengan perkataan, "Masuklah dengan mengucapkan salam", maka beliau segera kembali dan berkata, "Saya tidak tahu apakah saya harus masuk dengan salam ataukah tanpa salam (padahal saya telah mengucapkan salam ketika meminta izin tadi)."

Dari Tsa'labah bin Abi Malik al-Qurazhi:
أنه ركب إلى عبد الله بن سويد - أخي بني حارثة بن الحارث - يسأله عن العورات الثلاث وكان يعمل بهن فقال: ما تريد فقلت: أريد أن أعمل بهن فقال: إذا وضعت ثيابي من الظهيرة لم يدخل علي أحد من أهلي بلغ الحلم إلا بإذني إلا أن أدعوه فذلك إذنه. ولا إذا طلع الفجر وتحرك الناس حتى تصلى الصلاة. ولا إذا صليت العشاء ووضعت ثيابي حتى أنام
Bahwa dia pernah berkendaran mengunjungi Abdullah bin Suwaid -saudara Bani Haritsah bin al-Harits- untuk bertanya mengenai tiga aurat -karena dia (Abdullah) sudah mempraktikkannya-. (Tsa'labah berkata,) 'Abdullah bertanya, 'Apa yang engkau inginkan (dengan tiga aurat itu)?' Aku jawab, 'Saya ingin mempraktikkannya.' Dia berkata, 'Jika saya menanggalkan pakaianku karena panasnya suhu tengah hari, maka tidak boleh masuk menemuiku seorangpun dari anggota keluargaku yang telah baligh, kecuali dengan izinku, atau karena aku panggil, maka itu termasuk izinku baginya. Begitu pula ketika fajar menyingsing dan orang-orang sudah mulai beraktifitas hingga shalat subuh dilaksanakan. Dan setelah saya shalat Isya' dan mengganti pakaian (dengan pakaian tidur) sampai aku tidur. [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani]

FAEDAH:
Tiga waktu aurat ini telah dijelaskan dalam al-Quran dalam firman Allah Taala;
يا أيها الذين آمنوا ليستأذنكم الذين ملكت أيمانكم والذين لم يبلغوا الحلم منكم ثلاث مرات من قبل صلاة الفجر وحين تضعون ثيابكم من الظهيرة ومن بعد صلاة العشاء ثلاث عورات لكم ليس عليكم ولا عليهم جناح بعدهن طوافون عليكم بعضكم على بعض كذلك يبين الله لكم الآيات والله عليم حكيم
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. An-Nuur:58]
Sebab larangan masuk di tiga macam waktu tersebut karena biasanya di waktu-waktu itu badan banyak terbuka. Oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin pada waktu-waktu tersebut.
Berkata asy-Syaikh as-Sadi rahimahullah: Allah Taala memerintahkan orang-orang yang beriman agar (memerintahkan) budak-budak mereka dan anak-anak yang belum balig untuk minta izin. Sungguh Allah telah menyebutkan hikmahnya dan bahwa hal tersebut adalah tiga waktu aurat bagi yang mau minta izin; waktu tidur selepas shalat Isya dan ketika bangun tidur sebelum shalat Subuh, pada waktu ini sering orang yang akan tidur malam mengenakan pakaian khusus (untuk tidur). Adapun tidur siang tatkala tidak sering (memakai baju tidur), terkadang memakai baju biasa, maka Allah Taala kaitkan hal ini dengan firman-Nya;
وحين تضعون ثيابكم من الظهيرة
(Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari.)
Yaitu untuk Qailulah (istirahat) dit engah hari.
Pada tiga keadaan ini, para budak-budak dan anak-anak kecil (hukumnya) seperti selain mereka, yaitu tidak dibolehkan masuk kecuali dengan izin. Adapun selain tiga waktu tersebut maka Allah berfirman;
ليس عليكم ولا عليهم جناح بعدهن
(Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.)
Yakni tidak seperti selain mereka senantiasa harus minta izin, karena mereka (budak dan anak-anak) jika harus senantiasa minta izin setiap waktu, maka hal ini akan memberatkan. Oleh karena itu Allah berfirman;
طوافون عليكم بعضكم على بعض
(Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain).)
Yakni mereka sering mondar-mandir di sekeliling mereka karena aktifitas dan kebutuhan mereka. [Tafsir as-Sadi, hal. 573]
Berkata Syaraful Haq Abaadi dalam kitabnya Aunul Mabud [14/77]: Dikhususkan hanya tiga waktu ini saja, karena waktu tersebut adalah waktu untuk bersendirian dan melepas pakaian. Terkadang tampak padanya bagian yang tidak dia sukai untuk dilihat oleh siapapun, baik oleh budaknya maupun anak-anaknya. Oleh sebab itu, mereka diperintahkan untuk minta izin di waktu-waktu tersebut. Adapun selain mereka maka (diwajibkan) minta izin setiap saat.

Disusun oleh:
Abu Ubaidah bin Damiri al-Jawy
1436 H/2015 M

Pelajaran Forum KIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar