Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Maret 2015

Tentang WALI NIKAH BAGI CALON MEMPELAI WANITA

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Adanya wali bagi calon mempelai wanita adalah syarat nikah. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah [1], saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara laki-laki ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst). Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha…, dst). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya [2] dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Catatan Kaki:

[1] Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.

[2] Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Soal:
Seorang pemuda yang taat beragama sekaligus memiliki sifat-sifat yang terpuji melamar saya. Akan tetapi, ayah saya menolak lamarannya dengan alasan tidak sekufu dengan saya dari sisi kedudukan dan nasab. Ayah menginginkan saya menikah dengan seorang pemuda dari keluarga ningrat yang kaya dan punya martabat/kedudukan.
Sementara itu, saya telah ridha dengan pemuda yang melamar saya dan tidak menginginkan yang selainnya. Apakah dibolehkan bagi saya menikah dengannya tanpa sepersetujuan wali saya? Saya pernah membaca dalam Fiqh as-Sunnah, bahwa Abu Hanifah membolehkan pernikahan yang demikian.
Sungguh Allah ‘azza wa jalla menyerahkan urusan seorang hamba kepada dirinya sendiri, termasuk di antaranya urusan pernikahan. Apabila ayah saya menghalangi saya untuk menikah dengan lelaki yang sesuai bagi saya, seorang lelaki yang begitu bersungguh-sungguh ingin menjaga kemuliaan saya, menjaga kehormatan saya, dan dia sendiri seorang yang berpegang teguh dengan agama, namun ayah saya justru ingin saya menikah dengan lelaki yang tidak memiliki sifat-sifat yang saya sebutkan; bukankah berarti saya berhak untuk tidak meminta izinnya dalam urusan pernikahan saya dengan seorang yang salih tersebut?
Saya urusi sendiri pernikahan saya di hadapan qadhi (hakim) atau saya meminta izin kepada salah seorang kerabat saya yang lain yang mau menerima pandangan saya dan menjadi wali dalam urusan pernikahan saya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berfatwa sebagai berikut.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Siapa pun yang melakukannya, pernikahan tersebut batil, menurut mayoritas ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangannya. Sebab, dalam urusan pernikahan, Allah ‘azza wa jalla menujukan pembicaraan kepada para wali yang mengurusi para wanita (bukan wanita yang diajak bicara).
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri (belum punya pasangan) di antara kalian dan orang-orang salih dari kalangan budak-budak kalian.” (an-Nur: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ ديْنَهُ وَحُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
“Apabila datang kepada kalian (untuk melamar wanita kalian) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan wanita yang berada di bawah perwalian kalian).”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ نكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”[2]
Adapun pendapat yang Anda baca dalam sebagian kitab fiqih bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, itu adalah pendapat yang dhaif/lemah dan marjuh (tidak kuat, lawan dari rajih). Pendapat yang benar, yang tegak di atas dalil, adalah pendapat yang menyelisihinya, sehingga pendapat yang lemah tersebut tidak boleh diamalkan.
Penanya mengajukan pertanyaan terkait dengan adanya perselisihan pendapat antara dia dan ayahnya. Ayahnya menginginkannya bersuamikan seseorang yang punya martabat, dari keturunan yang sekufu dengan dirinya, sementara si wanita sendiri tidak memandang demikian. Dia hanyalah condong untuk menikah dengan seorang lelaki yang dipandangnya memiliki agama, walaupun tidak memiliki kedudukan dan tidak bernasab tinggi.
Dalam hal ini, kebenaran bersama ayahnya karena ayahnya lebih jauh pandangannya daripada dirinya. Terkadang dibayangkan oleh si wanita bahwa lelaki yang datang melamarnya tersebut sesuai untuknya padahal sebenarnya tidak sesuai.[3] Oleh karena itu, tidak sepantasnya dia menentang ayahnya selama si ayah menginginkan kemaslahatan putrinya.
Namun, jika ternyata dipastikan lelaki yang datang melamar si wanita itu memang sesuai, pantas dan cocok dengannya, sekufu dalam hal kedudukan, martabat, dan agamanya, sementara si ayah enggan menikahkan putrinya dengan lelaki yang demikian, si ayah menjadi ‘adhil.[4] Jika demikian, perwalian dalam pernikahan berpindah kepada wali yang berikutnya setelah sang ayah.
Akan tetapi, urusan ini harus dengan pertimbangan qadhi/hakim yang nantinya memindahkan perwalian dari ayah yang berbuat ‘adhal kepada wali yang setelahnya dari kalangan para lelaki yang berhak menjadi wali si wanita.
Dalam hal ini, si wanita tidak boleh mengurusi sendiri urusan seperti ini. Tidak boleh pula salah seorang wali mengurusinya tanpa ada keridhaan dari ayahnya. Jadi, dalam urusan ini harus kembali kepada qadhi yang syar’i. Hakim yang akan melihat permasalahan dan menilai fakta yang ada. Apabila dia memandang bolehnya perpindahan wali kepada yang lain, dipindahkan sesuai kemaslahatan. Oleh karena itu, dalam hal pernikahan ini harus dipastikan perkaranya.
Para wanita tidak boleh mengurus sendiri urusan pernikahannya. Urusan ini harus ditangani dengan semestinya oleh walinya yang berhak. Sebab, wanita itu pandangannya terbatas/dangkal, tidak jauh ke depan. Para wali dari kalangan lelaki yang mengurus wanita tentu harus memiliki semangat untuk memberikan penjagaan kepada wanita yang di bawah perwaliannya dan punya kecemburuan terhadap mereka. Semua ini tentu tidak dimiliki oleh para wanita. Oleh karena itu, sepantasnya hal ini menjadi perhatian.”

(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/536—537)

[1] HR at-Tirmidzi (no. 1085), Ibnu Majah (no. 1968), dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami no. 270.

[2] HR ad-Daraquthni dalam as-Sunan (3/226), Ibnu Hibban (no. 1247) dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ (no. 7557).

[3] Sebab, wanita lebih sering menilai dengan perasaannya, tanpa pertimbangan yang matang dan jauh ke depan sebagaimana halnya kaum lelaki.

[4] Lafadz ‘adhal, yang pelakunya disebut ‘adhil, terambil dari ayat,
فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
“… maka janganlah kalian (para wali) berbuat ‘adhal/mencegah atau menghalangi mereka (wanita yang di bawah perwalian kalian) untuk menikah kembali dengan (mantan) suami-suami mereka.” (al-Baqarah: 232)
Makna ‘adhal sama dengan mana’a, yaitu menahan, mencegah, atau menghalangi.
Apabila seorang ayah mencegah, melarang, atau tidak menerima pinangan seorang lelaki terhadap putrinya dan enggan menikahkannya, padahal si lelaki sekufu dengan putrinya dalam hal agama, akhlak, atau harta, dalam keadaan putrinya sendiri ridha/suka dengan si lelaki, perwalian ayah bisa dipindahkan kepada wali berikutnya. Misalnya, saudara laki-laki si wanita, paman (dari pihak ayah/saudara lelaki ayah), atau keponakan lelaki dari saudara lelakinya. Sebab, tidak ada hak bagi si ayah untuk menolak pinangan lelaki baik-baik tersebut. Sebagai wali, seharusnya dia melakukan apa yang paling bermaslahat atau yang terbaik untuk putrinya. Apabila si ayah tidak mau melakukannya, hak perwaliannya berpindah kepada selainnya. Demikian keterangan dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (12/86).

Sumber: Asy Syariah Edisi 105

###

Soal:
Bagaimana hukum seorang wanita yang menikah tidak didampingi oleh walinya, hanya didampingi oleh saudara sepupu ibunya (wanita), padahal ia masih punya ayah? Waktu itu ia diperantauan, jauh dari orang tua. Selain itu, ia juga jahil, tidak tahu hukumnya. Kalau mempunyai anak, status anaknya bagaimana?

Jawab:
Jika dia menyangka menikah tanpa wali boleh -sebagaimana pendapat sebagian ulama-, pernikahan tersebut berstatus nikah syubhat yang harus diulangi dengan pernikahan yang sah, sedangkan anaknya sah sebagai anak keduanya. Jika ia menikah semaunya saja dan atas dasar hawa nafsu tanpa dasar ilmu yang disangkanya benar, hal itu batil dan anak tersebut adalah anak zina. Keduanya harus berpisah sampai menikah kembali dengan cara yang sah. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tidak ada komentar:

Posting Komentar