Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Maret 2015

Tentang MENIKAHI WANITA PEZINA

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:

1. Wanita itu bertaubat kepada Allah, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”

2. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah [1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):  “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111):  “Seorang wanita yang khulu’ [2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

Footnote:

[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan:
هذه رسالة وردت من المستمع شكيوي عياد سليمان من الأردن يقول في رسالته أرجو عرض أو معرفة حكم الشريعة الإسلامية في إنسان تزوج من فتاة وقبل الزواج بشهر تقريباً اجتمع بها وكانت في هذه الحالة قبل زواجها إنسانة خاطئة وكذلك هو الآخر فأرجو معرفة حكم الشريعة الإسلامية وهل يجوز أو يصح زواجهم أم لا ولكم جزيل الشكر؟
Sebuah pertanyaan dari Iyad Sulaiman asal Yordania berbunyi: Apa hukum syariat Islam terhadap seseorang yang menikah dengan seorang gadis, tetapi kurang lebih satu bulan sebelum menikah, mereka berdua bertemu dan melakukan sebuah hubungan terlarang. Saya mengharapkan jawaban tentang hukum syariat Islam, apakah pernikahan ini sah atau tidak?

Jawaban:
إذا كان اتصاله بها قبل الدخول وبعد العقد يعني قبل إجراء حفل الزواج لكنه بعد العقد فهذا لا بأس به لأنها زوجته حيث عقد عليها وإن كانت مخطوبة وإلى الآن لم يتم العقد فإن هذا حرامٌ عليه وهو زنا لأنها أجنبيةٌ منه حتى يتم عليها العقد وفي هذه الحال يجب عليهما جميعاً أن يتوبا إلى الله فإذا تابا إلى الله ورجعا عما فعلا حلت له ولكن في هذه الحال لو تزوجها يجب أن يستبرئها بحيضة بمعنى أن لا يجامعها حتى تحيض لأنه يحتمل أن تحمل من الجماع الأول السابق على عقد النكاح وهذا الولد الذي أتى من الجماع الأول السابق على عقد النكاح يعتبر ولد زنا لا يلحق والده لأنه ليس على عقدٍ شرعي اللهم إلا أن يكون لهذا الواطئ أو لهذا الرجل شبهة ويعتقد أنه يطؤها علىأبيهٍ حلال فإنه يكون حينئذٍ مولودا من وطئ شبهة وينسب إلى أبيه
Jika pertemuan tersebut terjadi setelah akad nikah, tetapi belum dilakukan resepsi pernikahan dan akad sudah terjadi, maka tidak mengapa dikarenakan dia sudah menjadi istrinya.
Akan tetapi, jika sekadar baru dilamar saja dan belum terjadi akad nikah, maka perbuatan mereka tersebut haram dan merupakan zina dikarenakan wanita itu masih ajnabiyah sampai adanya akad. Jika ini terjadi, wajib bagi mereka berdua untuk bertaubat kepada Allah. Dan kalau sudah bertaubat dari perbuatannya, maka wanita itu sudah halal baginya.
Akan tetapi, sebelum dia menikahinya, wajib baginya melakukan istibro (pembersihan rahim) dengan satu kali haid, yaitu jangan menjima dia sampai dia haid dikarenakan ada kemungkinan dia hamil pada saat hubungan yang pertama tadi sebelum akad nikah.
Maka, jika dia melahirkan anak dari hasil hubungan pertama tadi, anaknya dianggap anak zina sehingga tidak dinisbahkan kepada bapaknya dikarenakan tidak adanya akad syari.
Kecuali jika ketika melakukan hubungan pertama tadi, laki-laki ini ditimpa sebuah syubhat sehingga dia anggap perbuatannya ini halal, maka anak ini lahir dari sebuah hubungan yang syubhat dan tetap dinisbahkan kepada ayahnya.

Sumber:
www .ibnothaimeen .com/all/noor/article_6271 .shtml

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar