Saat ini saudara-saudara kita kaum muslimin yang mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji pada tahun ini sudah berada di tanah suci, memenuhi panggilan Allah ta’ala untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kuota untuk jama’ah haji dari Indonesia masih yang terbanyak dibandingkan negara-negara lain.
Walaupun demikian, calon jama’ah haji (CJH) yang masuk waiting list (daftar tunggu) atau belum mendapat jatah kuota untuk diberangkatkan pada tahun ini sangat banyak jumlahnya, bahkan lebih banyak daripada CJH yang bisa berangkat tahun ini. Di antara mereka ada yang harus menunggu sampai dua atau tiga tahun lagi atau bahkan lebih untuk bisa memenuhi panggilan Rabbul ‘Alamin dan menyempurnakan manasik haji yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim itu. Lebih dari itu, dikabarkan bahwa jumlah umat Islam yang berkeinginan untuk naik haji dan sudah mendaftarkan diri ke Departemen Agama maupun travel-travel yang melayani pemberangkatan jama’ah haji dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Semakin besarnya jumlah (kuantitas) umat Islam di negeri ini yang berkeinginan untuk menunaikan haji menunjukkan semakin tingginya kesadaran umat untuk kembali kepada upaya pengamalan tehadap syari’at Islam, terlebih lagi ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima.
Namun kuantitas yang sedemikian besarnya ini alangkah lebih baik dan sempurna jika dibarengi dengan meningkatnya kualitas para jama’ah haji. Upaya yang sungguh-sungguh diiringi dengan niatan yang jujur untuk meraih dan menjaga kemabruran haji merupakan indikasi yang menunjukkan bagusnya kualitas ibadah haji seseorang. Hal ini akan tampak ketika setelah menunaikan ibadah haji, dia benar-benar bisa memberikan manfaat dan barakah, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Setelah menunaikan ibadah haji pula, seseorang akan menjadi lebih baik ibadahnya, akhlaknya, aqidahnya, dan mu’amalahnya dengan sesama.
Dan di antara upaya untuk meraih dan menjaga kemabruran haji tersebut adalah dengan memperhatikan serta mengamalkan beberapa adab dan akhlak syar’i terkait dengan ibadah haji. Pada tulisan singkat ini, akan disebutkan sebagian dari adab dan akhlak tersebut dengan harapan semoga bisa bermanfaat bagi kaum muslimin terkhusus para calon jama’ah haji sehingga predikat haji mabrur -yang tidak ada balasan baginya kecuali al jannah (surga)- bisa teraih dengan sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah yang satu dengan umrah yang berikutnya akan menjadi kaffarah (penebus dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali Al Jannah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Adab dan akhlak tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas dan niat yang jujur
Ini adalah perkara paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak beribadah. Terkhusus bagi calon jama’ah haji, dia harus benar-benar mengkoreksi dirinya apakah niatan dia dalam menunaikan rukun Islam yang kelima ini sudah dilandasi keikhlasan dan niat yang jujur ataukah belum.
Dan yang dimaksud dengan ikhlas dalam menunaikan ibadah haji ini adalah tidaklah seseorang menunaikannya kecuali hanya karena Allah ta’ala, meraih pahala dan keutamaan dari-Nya, mengharapkan jannah (surga)-Nya, dan berharap agar dosa-dosanya terhapus sehingga dia seperti seorang anak yang baru dilahirkan ibunya yang bersih dan tidak menanggung dosa apapun sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
“Barangsiapa yang menjalankan ibadah haji karena Allah, kemudian dia tidak melakukan perbuatan keji dan fasik, maka dia akan kembali ke rumahnya dalam keadaan seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Akan tetapi apabila tujuannya tidak lillahi ta’ala seperti ingin mendapatkan pujian orang lain, atau menginginkan popularitas dan naiknya status sosial di tengah masyarakat dengan gelaran Pak/Bu Haji, dan tujuan-tujuan lain yang sifatnya duniawi, maka sungguh ini merupakan niat bengkok yang perlu untuk diluruskan. Sungguh merugi, sudah banyak uang yang dikeluarkan, tenaga dan fisik yang dicurahkan, namun itu semua sia-sia dan tidak ada nilainya di hadapan Allah ta’ala disebabkan niat yang tidak benar. Allah ta’ala telah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ.
“Mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (Al Bayyinah: 5).
2. Mempelajari tata cara manasik yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Karena setiap amalan ibadah -baik wudhu, shalat, puasa, haji, dan yang lainnya- jika dikerjakan dengan tata cara yang menyelisihi tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari urusan (bimbingan dan tuntunan) kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Maka bagi setiap calon jama’ah haji hendaknya juga benar-benar memperhatikan masalah ini, pelajarilah bagaimana rangkaian manasik yang benar dan sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan gampang mengiyakan setiap orang yang memberikan bimbingan manasik begini dan begitu tanpa melihat apakah itu sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah tidak.
Dan bagi para pembimbing, hendaknya juga jangan sampai memberikan pengarahan dan pengajaran yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para pembimbing adalah orang-orang yang memikul amanah untuk menyampaikan amaliyah praktek ibadah haji yang benar. Jika ada satu orang jama’ah haji yang melakukan kesalahan dalam menunaikan manasiknya disebabkan bimbingan yang salah, maka si pembimbing juga akan menanggung dosanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا.
“Barangsiapa yang menyeru (mengajarkan) kepada petunjuk, maka dia juga akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang menyeru (mengajarkan) kepada kesesatan, maka dia juga akan mendapatkan dosanya seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Perkara inilah yang benar-benar ditekankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya untuk selalu diperhatikan, beliau bersabda:
َيا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلِّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِي هَذَا.
“Wahai sekalian manusia, ambillah (dariku tata cara) manasik kalian, sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan menunaikan ibadah haji lagi setelah tahun ini.” (HR. Muslim, An Nasa’i, Ahmad)
Adapun untuk mengetahui bagaimana tata cara manasik yang benar, anda bisa membaca kitab-kitab yang mengupas tentang tuntunan ibadah haji yang sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karya Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahumullah dan yang lainnya dari para ulama yang dikenal keistiqamahannya di atas manhaj dan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Alhamdulillah kitab-kitab tersebut sekarang lebih mudah didapatkan, dan bahkan sebagiannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dan juga jangan lupa, hendaknya CJH berusaha mencari pembimbing yang benar-benar berilmu, berakhlak, amanah, dan jujur dalam memberikan bimbingannya.
3. Memilih harta yang halal
Bukan dari hasil mencuri, merampas, menipu, riba, korupsi, dan lainnya dari bentuk penghasilan yang tidak halal. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang berhaji dengan menggunakan harta yang tidak halal, maka hajinya tidak diterima, berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ حَاجًّا بنفَقَةٍ طَيِّـبَةٍ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَلالٌ، وَرَاحِلَتُكَ حَلالٌ، وَحَجُّكُ مَبْرُورٌ غَيْرُ مَأْزُورٍ، وَإِذَا خَرَجَ بِالنَّفَقَةِ الْخَبِيثَةِ، فَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لا لَبَّيْكَ وَلا سَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُورٍ.
“Jika seseorang keluar menunaikan ibadah haji dengan harta (nafkah) yang baik (halal) dan dia sudah meletakkan kakinya di tunggangannya (menaiki kendaraannya) kemudian berseru: ‘Labbaika Allahumma Labbaik’ (kusambut panggilan-Mu ya Allah), maka dari langit ada yang menyeru dia: ‘kusambut seruanmu, bekal engkau halal, kendaraan engkau halal, dan haji engkau adalah haji yang mabrur tanpa ada dosa padanya. Dan jika seseorang keluar menjalankan ibadah haji dengan harta yang buruk (haram) dan dia sudah meletakkan kakinya di tunggangannya (menaiki kendaraannya) kemudian berseru: ‘Labbaika Allahumma Labbaik’ (kusambut panggilan-Mu ya Allah), maka dari langit ada yang menyeru dia: ‘tidak ada sambutan atas seruanmu, bekal kamu haram, nafkah kamu haram, dan haji kamu tidak mabrur.” (HR. Ath Thabarani)
Oleh karena itulah bagi setiap calon jama’ah haji hendaknya benar-benar memperhatikan harta (uang) yang dia gunakan dalam menunaikan ibadah haji, mulai dari ONH-nya, biaya pengurusannya, sampai bekal dan uang saku yang dia bawa, semuanya berasal dari harta yang didapatkan dari hasil usaha yang halal.
4. Memilih teman yang baik
Perjalanan menunaikan ibadah haji tidak lepas dari mu’amalah dan pergaulan dengan orang lain karena memang haji adalah ibadah yang ditunaikan secara bersama-sama dan melibatkan orang banyak dengan watak dan karakter yang berbeda-beda.
Oleh karena itulah setiap jama’ah haji hendaknya memilih teman yang baik dan shalih yang akan mengingatkan dia ketika lupa, yang akan menegur dan menasehati dia ketika berbuat salah, yang akan mendorong semangat beribadah dia ketika sedang muncul rasa malas, dan yang akan membantu dia ketika sedang menghadapi masalah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.
“Janganlah engkau berteman kecuali dengan mu’min, dan jangan ada orang yang memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi)
Namun bukan berarti ketika kebetulan anda mendapatkan teman yang memiliki watak dan perangai yang kurang baik dalam satu kelompok / rombongan, kemudian anda meninggalkan, menjauhi, dan tidak mau bergaul dengan dia. Ini pun juga sikap yang kurang tepat, bahkan hendaknya anda bersabar dan berusaha untuk bersikap lebih bijak (hikmah) ketika bermuamalah dengannya.
5. Berakhlak dan bermuamalah yang baik dengan sesama
Masih terkait dengan adab yang keempat di atas, sebagaimana seseorang ingin mendapatkan teman yang baik dan mendapatkan perlakuan yang baik dari sesamanya, maka sudah seyogyanya dia juga berusaha untuk bermuamalah, mempergauli, dan memperlakukan orang lain dengan baik pula.
Allah ta’ala akan menjanjikan pahala yang besar bagi barangsiapa yang bisa bersikap dengan sikap seperti ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.
“Maka barangsiapa yang senang untuk dibebaskan dari An Nar dan dimasukkan ke dalam Al Jannah, hendaknya dia berusaha ketika datang ajalnya (meninggal) dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang dia sendiri senang untuk diperlakukan seperti itu.” (HR. Muslim)
Para jama’ah juga hendaknya benar-benar menjaga ukhuwwah (persaudaraan) dan saling pengertian di antara mereka. Sedikit maupun banyak, perselisihan dan perbedaan pendapat antar jama’ah dalam masalah tertentu pasti ada. Oleh karena itulah dibutuhkan sikap tenang, lapang dada, saling menghormati, dan saling mengerti dalam menyelesaikannya.
6. Menjauhi segala bentuk kemungkaran
Sudah seharusnya bagi tamu-tamu Allah ta’ala untuk menjaga dirinya, lisannya, tangan, dan seluruh angota badannya dari perbuatan yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman (artinya):
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ.
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197)
Kata rafats dalam ayat tersebut ada ulama yang menafsirkan larangan-larangan ketika ihram, dan termasuk rafats juga adalah setiap perkataan yang jorok, tidak senonoh, ataupun pembicaraan yang menyangkut aurat. Wallahu A’lam.
Sedangkan kefasikan adalah semua bentuk perbuatan dosa dan maksiat, baik yang dilakukan oleh hati, lisan, maupun anggota badan seperti sombong, riya’, merasa dirinya lebih dibandingkan yang lainnya, mau menang sendiri, berdusta, ghibah (menggunjing), menyakiti dan mengganggu orang lain, dan lain sebagainya.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, ketahuilah bahwasanya termasuk kemungkaran terbesar yang banyak terjadi di tengah-tengah kaum muslimin adalah kesyirikan kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan temasuk kesyirikan yang banyak dilakukan pada musim haji adalah berdo’a kepada selain Allah shallallahu ‘alaihi wasallam, memohon keselamatan, rizqi, dan beristighatsah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di samping kuburan beliau atau kepada para Syuhada’ Uhud, mengais barakah dengan mengusap dinding Ka’bah atau bagian lain dari bangunan Al Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi yang tidak pernah ada tuntunannya dalam syari’at ini.
Ini semua merupakan bentuk kesyirikan (yaitu menyekutukan Allah dan menjadikan tandingan bagi-Nya dalam peribadatan) yang merupakan dosa besar yang paling besar dibandingkan dosa-dosa besar yang lain. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”, maka beliau menjawab:
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ.
“(Dosa yang paling besar adalah ketika) engkau menjadikan bagi Allah tandingan (sekutu) dalam peribadatan padahal Dialah yang telah menciptakan engkau.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
7. Memperbanyak amal shalih
Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi para jama’ah haji, di mana mereka berada di tempat yang suci dan dimuliakan, shalat yang dikerjakan di Al Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi dilipatgandakan pahalanya. Sehingga diupayakan bagi setiap jama’ah untuk menunaikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di Al Haramain tersebut, memperbanyak shalat sunnah dan thawaf mengelilingi Ka’bah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ أُسْبُوعًا فَأَحْصَاهُ كَانَ كَعِتْقِ رَقَبَةٍ. وَلاَ يَضَعُ قَدَمًا وَلاَ يَرْفَعُ أُخْرَى إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً.
“Barangsiapa yang thawaf di Baitullah (Ka’bah) ini tujuh putaran, maka dia seperti orang yang memerdekakan budak, dan tidaklah dia meletakkan telapak kakinya yang satu dan mengangkat telapak kakinya yang lain melainkan Allah akan menghapuskan darinya satu kesalahan dan mencatat baginya satu kebaikan.” (HR. At Tirmidzi)
Berdzikir, berdo’a, dan beristighfar terkhusus di tempat-tempat mustajab hendaknya juga banyak dipanjatkan oleh para jama’ah. Dan ketika masuk waktu ihram, sibukkan dengan memperbanyak mengucapkan talbiyah dan mengeraskannya dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Demikianlah secara ringkas adab dan akhlak di dalam menunaikan ibadah haji. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada saudara-saudara kita kaum muslimin terkhusus CJH agar bisa menjaga dan mengamalkannya sehingga ketika pulang ke tanah air dalam keadaan menyandang predikat haji yang mabrur. Amin.
The post Berakhlak Syar’i di Tanah Suci (Tips Meraih Predikat Haji Mabrur) appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.
Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/08/27/berakhlak-syari-di-tanah-suci-tips-meraih-predikat-haji-mabrur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar