Apa Saja yang Menyebabkan Seseorang Wajib Mandi?
Jawab:
1. Mengeluarkan mani dalam keadaan tidur atau terjaga.
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
Hanyalah air (mandi) itu karena air (mani). (H.R Muslim dari Abu Said al-Khudry)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
Dari Ummu Salamah ibunda orang beriman bahwasanya beliau berkata: Ummu Sulaim istri Abu Tholhah datang kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita juga wajib mandi jika ia mimpi basah? Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Ya. Jika ia melihat air (mani). (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Catatan: Khusus dalam keadaan terjaga, seseorang yang mengeluarkan mani hanya wajib mandi jika mengeluarkan maninya secara memancar karena syahwat, sedangkan jika keluar tidak dengan memancar, karena sakit atau kedinginan, maka tidak wajib mandi.
فَإِذَا فَضَخْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ
Maka jika engkau memancarkan air mani (saat terjaga), maka mandilah. (H.R Abu Dawud, an-Nasaai, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, an-Nawawi, al-Albany)
2. Berhubungan suami istri meski tidak sampai mengeluarkan mani.
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Jika telah bertemu dua (kemaluan) yang dikhitan dan telah masuk kepala kemaluan, maka telah wajib mandi. (H.R Ibnu Majah)
3. Masuk Islamnya seseorang yang sebelumnya kafir.
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ الْإِسْلَامَ فَأَمَرَنِي أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Dari Qoys bin ‘Ashim beliau berkata: Saya mendatangi Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk masuk Islam, kemudian beliau memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara. (H.R Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnus Sakan, dan al-Albany)
4. Setelah berakhirnya darah haid dan nifas.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
Jika datang haid, tinggalkanlah sholat. Jika telah berlalu haid (selesai), mandilah dan kemudian sholatlah. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Bagaimana Kewajiban Mandi Bagi Orang Yang Tertidur dan Merasa Mimpi Basah Atau Mengeluarkan Mani?
Jawab:
Jika setelah bangun tidur ia mendapati ada mani darinya, maka wajib mandi. Meski ia tidak merasa bermimpi. Sebaliknya, jika ia bermimpi (berhubungan suami istri), namun tidak mendapati keluarnya mani setelah bangun tidur, tidak ada kewajiban mandi baginya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati ada basah (karena mani) tapi ia tidak merasa bermimpi. Nabi menyatakan: Ia wajib mandi. Dan beliau ditanya tentang seorang yang merasa telah bermimpi, namun tidak mendapati ada yang basah (dari mani). Nabi bersabda: Tidak wajib mandi baginya. (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ahmad)
Hadits tersebut para perawinya adalah para perawi dalam as-Shahih, namun satu perawi: Abdullah al-Umary diperselisihkan oleh para Ulama’. Al-Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in menyatakan: bahwa ia tidak mengapa (bukan perawi lemah). Sedangkan Ibnul Madini, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban melemahkannya.
Namun hadits tersebut dikuatkan dengan hadits Ummu Salamah riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa seseorang yang terbangun dari tidur baru diwajibkan mandi hanya jika ia melihat keluarnya air (mani).
Apa Saja Rukun Mandi?
Jawab:
Rukun mandi ada 2, yaitu:
1. Niat.
Minimal berniat menghilangkan hadats besar. Bisa juga berniat menghilangkan seluruh hadats baik kecil maupun besar. Niat adalah terletak di hati, tidak diucapkan.
2. Mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh.
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّي ثَلَاثًا فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِي ثُمَّ أُفِيضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِي
Adapun aku, aku mengambil air sepenuh genggaman tanganku, kemudian aku tuangkan ke atas kepalaku, kemudian aku alirkan setelahnya ke sekujur tubuhku.
(H.R Ahmad dari Jubair bin Muth’im, dan para perawinya adalah para perawi as-Shahih menurut Abut Thoyyib Muhammad Syamsul Haq penulis Aunul Ma’bud, dishahihkan al-Albany)
أَنْ أَعْطَى الَّذِي أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ قَالَ اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ
Memberikan bejana berisi air kepada orang yang junub kemudian beliau bersabda: Pergilah dan tuangkan air itu (pada seluruh tubuhmu). (H.R al-Bukhari dari Imran bin Hushain)
Kedua rukun itu jika dilaksanakan akan terpenuhi sahnya mandi wajib.
Bagaimana Tata Cara Mandi yang Sempurna?
Jawab:
Tata cara mandi yang sempurna seperti yang dicontohkan Nabi adalah sebagai berikut:
1. Berniat.
2. Mencuci kedua telapak tangan.
3. Menuangkan air dengan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri kemudian mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri.
4. Berwudhu’ secara sempurna sebagaimana wudhu’ dalam sholat.
5. Mengambil air dan menyela-nyela rambut pada kepala hingga sampai pori-pori pangkal rambut.
6. Menyiram kepala 3 kali dengan 3 kali cidukan. Dimulai dari bagian kanan, kemudian kiri, kemudian seluruh kepala.
7. Menyiram air ke sekujur tubuh.
Apakah Hadits yang Menjadi Patokan Tata Cara Mandi Nabi?
Jawab:
Ada 2 hadits utama yang menjadi patokan tata cara mandi Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Hadits itu adalah hadits Aisyah dan hadits Maimunah (dua orang ibunda orang beriman, istri Nabi shollallahu alaihi wasallam).
Hadits Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika mandi janabah memulai dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian menuangkan air dengan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri, kemudian mencuci kemaluan beliau, kemudian berwudhu’ sebagaimana wudhu’ dalam sholat. Kemudian mengambil air dan memasukkan jari-jarinya pada pangkal rambut, hingga beliau mengira (air) telah menjangkau seluruh (bagian rambut)nya, beliau menciduk air dengan kedua telapak tangan dan mengguyurkan pada kepala 3 kali. Kemudian beliau mengalirkan air pada seluruh anggota tubuh, kemudian beliau mencuci kedua kakinya. (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Maimunah:
عَنْ مَيْمُونَةَ قَالَتْ وَضَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضُوءًا لِجَنَابَةٍ فَأَكْفَأَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ أَوْ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ جَسَدَهُ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ قَالَتْ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ
Dari Maimunah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meletakkan bejana berisi air untuk mandi janabah. Kemudian beliau menciduk dengan telapak tangan kanan diguyurkan pada telapak tangan kiri 2 kali atau 3 kali. Kemudian beliau mencuci kemaluan beliau. Kemudian beliau memukulkan tangan beliau pada tanah atau dinding dua kali atau 3 kali. Kemudian beliau berkumur, menghirup air ke hidung (dan mengeluarkannya), mencuci wajah dan kedua tangan hingga siku. Kemudian mengguyurkan air pada kepala beliau. Kemudian beliau mencuci (seluruh) tubuhnya. Kemudian beliau bergeser tempat, kemudian mencuci kakinya. Maimunah berkata: Kemudian saya mendatangi beliau dengan membawa sepotong kain (semacam handuk), tapi beliau tidak menginginkannya. Beliau membersihkan sisa air di tubuh dengan tangannya. (H.R al-Bukhari)
Sedikit perbedaan pada tata cara dari kedua hadits di atas menunjukkan bolehnya menggunakan macam yang berbeda-beda pada tiap waktu. Perbedaan yang ada pada tata cara di hadits Aisyah dengan Maimunah adalah:
1. Di hadits Maimunah disebutkan bahwa pada saat membersihkan telapak tangan kiri (setelah mencuci kemaluan), Nabi memukulkan tangan ke tanah atau dinding, sedangkan di hadits Aisyah tidak disebutkan hal tersebut.
2. Pada hadits Aisyah ketika berwudhu’ dilakukan secara sempurna (termasuk mencuci kaki), kemudian di akhir juga mencuci kaki, sedangkan hadits Maimunah menjelaskan pada saat berwudhu’ tidak mencuci kaki, namun diakhirkan mencuci kaki setelah mencuci seluruh tubuh.
3. Pada hadits Maimunah di bagian wudhu’ tidak ada mengusap kepala, yang ada adalah mengguyurkan air pada kepala.
4. Di hadits Aisyah dijelaskan proses menyela-nyela rambut dengan jari jemari hingga air sampai pada pangkal rambut, sedangkan di hadits Maimunah tidak dijelaskan.
Cara mandi yang bagaimanapun yang digunakan di antara kedua riwayat hadits dari Ummul Mukminin Aisyah dan Maimunah tersebut keduanya adalah Sunnah Nabi yang bisa diamalkan.
Bolehkah Mandi Wajib dengan Air Hangat?
Jawab:
Ya, boleh. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab tentang air terdahulu. Boleh seseorang berwudhu’ atau mandi dengan air hangat selama air yang digunakan suci dan air tersebut bisa dialirkan pada seluruh anggota tubuh. Sedangkan hadits larangan menggunakan air hangat untuk berwudhu’ atau mandi adalah hadits yang lemah.
Apakah Seorang Wanita yang Mengikat Rambutnya Harus Mengurainya Saat Mandi Janabah?
Jawab:
Pada mandi janabah, seorang wanita tidak harus mengurai rambutnya yang terikat. Asalkan dipastikan air sampai pada pori-pori pangkal rambut.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
Dari Ummu Salamah beliau berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang lebat rambutnya. Apakah aku harus mengurainya saat mandi janabah? Nabi bersabda: Tidak. Sesungguhnya cukup bagimu untuk menciduk air 3 kali cidukan di atas kepalamu kemudian engkau alirkan (air) ke sekujur tubuhmu, maka engkau akan suci. Atau beliau bersabda: Maka saat itu engkau menjadi suci. (H.R Muslim)
Sedangkan pada mandi haid/nifas, seseorang wanita hendaknya mengurai rambutnya yang terikat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada beliau saat beliau haid: Urailah rambutmu dan mandilah. (H.R Ibnu Majah, asalnya dari riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hanya saja hal itu tidak wajib, karena dalam hadits Asma’ yang diriwayatkan Muslim, Nabi tidak menyebutkan keharusan mengurai rambut saat Asma’ bertanya tentang tata cara mandi haid.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاء
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang mandi haid. Nabi bersabda: Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidara dan bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya dan mengurutnya dengan keras hingga sampai pada pangkal rambutnya. Kemudian mengguyurkan air, kemudian ia mengambil kapas/pembalut yang diberi wewangian kemudian membersihkan (kemaluannya) dengannya. Asma’ bertanya: Bagaimana bersuci dengannya. Nabi mengatakan: Subhanallah, bersuci dengannya. Aisyah mengatakan: Sepertinya ia tidak memahaminya. Nabi menyatakan: Hendaknya ia ikutkan bekas-bekas darah (haid). Asma’ juga bertanya kepada Nabi tentang mandi janabah. Nabi bersabda: Ia ambil air kemudian bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya, kemudian mengurut bagian kepala hingga air sampai pada pori-pori pangkal rambut di kepala. Kemudian mengguyurkan air (ke sekujur tubuh). (H.R Muslim)
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berpendapat bahwa mengurai rambut pada mandi haid itu tidak wajib.
Pembedaan antara mandi janabah dengan mandi haid bagi wanita tersebut berdasarkan pendapat al-Imam Ahmad. Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm tidak membedakan antara mandi janabah dengan haid pada wanita.
Oleh: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
wa Alitishom
Salafy .or .id
###
TATA CARA MANDI JANABAH
Mandi janabah/mandi wajib memiliki dua cara:
1. Cara yang sederhana.
2. Cara yang sempurna.
Pertama: Cara yang sederhana
Cara mandi janabah yang sederhana namun mencukupi/sah adalah cukup dengan berniat dalam hati, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuh secara merata hingga mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (Lihat Al-Minhaj, 3/228)
Kedua: Cara yang sempurna
Mandi janabah/wajib yang sempurna terdiri dari:
1. Niat
Sebelum memulai mandi janabah, maka wajib berniat dalam hati. Karena niat merupakan pembeda antara mandi biasa dengan mandi wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 3530 dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu)
2. Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air
Hal ini sebagaimana diceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)
Mencuci kedua telapak tangan dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)
3. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri
Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ
“Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)
4. Menggosokkan telapak tangan kiri ke tanah
Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ اْلأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا
“Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)
5. Berwudhu
Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)
Adapun tata cara berwudhu ketika hendak mandi janabah, para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat sunnahnya mengakhirkan pencucian kedua telapak kaki saat berwudhu ketika mandi janabah. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Nailul Authar, 1/271)
Namun jika menilik berbagai hadits yang ada, maka kita dapati bahwa ternyata berwudhu ketika mandi janabah memiliki beberapa cara, yaitu:
Pertama: Berwudhu secara sempurna seperti wudhu ketika hendak shalat. Dalilnya adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat.” (HR. Muslim no. 476)
Kedua: Berwudhu seperti ketika hendak shalat, dengan mengakhirkan mencuci kedua kaki setelah mandi. Juga dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat, tanpa mencuci kedua telapak kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 272)
Ketiga: Berwudhu seperti wudhu ketika hendak shalat, tanpa mengusap kepala. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَيَسْتَنْشِقُ وَيُمَضْمِضُ وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ رَأْسَهُ لَمْ يَمْسَحْ
“Kemudian beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu memasukkan air ke dalam hidung sekaligus ke dalam mulut dengan berkumur-kumur, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya masing-masing sebanyak tiga kali, hingga ketika sudah masuk bagian kepala beliau tidak mengusapnya.” (HR. An-Nasa’i no. 419. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i no. 420 bab tidak mengusap kepala dalam wudhu ketika mandi janabah)
Nampak dari hadits-hadits di atas, bahwa ketiga cara tersebut semuanya sunnah untuk dilakukan. Karena masing-masingnya didasari oleh hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah salah satu bentuk penggabungan (jama’) terhadap hadits-hadits diatas yang dilakukan Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa’i (1/225), karya beliau.
6. Menyela-nyela pangkal rambut dengan jari-jemari hingga kulit kepala terasa basah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِه
“Kemudian beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari tersebut (hingga terasa basah).” (HR. Al-Bukhari no. 240)
7. Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ
“Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 240)
Caranya, tuangan air yang pertama untuk bagian kanan kepala, kemudian tuangan yang kedua untuk bagian kiri kepala, lalu yang ketiga untuk bagian tengah kepala. Cara ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ
“Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya, yang pertama beliau tuangkan air pada bagian kanan kepalanya, kemudian setelah itu bagian yang kiri, lalu terakhir bagian tengah kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 250, Muslim no. 478)
Inilah cara yang dipilih oleh sebagian ulama besar seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Qurthubi, As-Sinji, Asy-Syaukani, dan yang lainnya (Lihat Nailul Authar, 1/270)
8. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ
“Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Muslim no. 474)
9. Mencuci kedua kaki
Jika air sudah diguyurkan secara merata ke seluruh tubuh, maka yang terakhir adalah mencuci kedua kaki. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian terakhir beliau mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474)
Demikian urutan tata cara mandi janabah yang sempurna. Jika seorang yang junub, atau wanita yang selesai dari haidh atau nifas telah selesai melakukannya, maka ia telah suci dari hadats besar.
Hendaknya orang yang mandi janabah memperhatikan bagian-bagian tubuh yang rawan tidak terkena air, seperti ketiak, pusar, bagian dalam telinga, dan bagian-bagian lainnya.
MANDI BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAIDH DAN NIFAS
Mandi bagi wanita yang telah suci dari haidh dan nifas tata caranya sama dengan tata cara mandi janabah. Namun disunnahkan bagi mereka untuk mewangikan bagian/daerah mengalirnya darah, baik dengan minyak wangi atau dengan jenis wewangian lainnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:
وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ
“Dan sungguh kami diberi keringanan ketika salah seorang dari kami mandi dari haidh untuk memakai wangi-wangian.” (HR. Al-Bukhari no. 302)
Mewangikan bagian tubuh tempat mengalirnya darah berlaku untuk semua wanita, baik wanita yang berstatus sebagai istri atau gadis. Hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan aroma yang tidak sedap. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan juga An-Nawawi. (Lihat Fathul Bari 3/239, Al-Minhaj 4/14)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Bila wanita yang mandi haidh tidak memakai wewangian pada daerah tempat mengalirnya darah padahal memungkinkan baginya untuk memakainya, maka hukumnya makruh.” (Lihat Al-Minhaj 4/14)
HUKUM MENGURAI RAMBUT YANG DIIKAT/DIJALIN SAAT MANDI
Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika mandi janabah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
“Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan. Kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuhmu. Maka dengan begitu engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Namun beda halnya ketika mandi haidh atau nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh. Sebagian ulama berpendapat wajib. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Ibnu Hazm, Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/275)
Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. Disebutkan dalam riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ قَالَ لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ
“Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi haidh dan janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Namun cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 497)
Adapun hadits yang memerintahkan wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika bersuci, dihukumi dha’if (lemah) oleh ulama pakar hadits. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang dipilih Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Baz, dan yang lainnya. (Lihat Taudhihul Ahkam, 1/401)
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Bila si wanita memiliki rambut yang diikat, maka tidak wajib baginya melepaskan ikatan rambutnya tersebut saat mandi janabah. Mandi wajib dari haidh sama hukumnya dengan mandi janabah, tidak berbeda.” (Lihat Al-Umm, 1/56)
HUKUM BERWUDHU SETELAH MANDI JANABAH
Seorang yang telah selesai dari mandi janabah tidak wajib baginya berwudhu, baik ia melakukan mandi janabah dengan cara yang sederhana atau cara yang sempurna. Karena ia telah suci dari hadats besar, maupun dari hadats kecil. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah selesai mandi (janabah).” (HR. At-Tirmidzi no. 107. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah no. 445)
Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah: “Ulama sepakat, seseorang yang telah selesai melakukan mandi janabah, tidak perlu mengulangi wudhu.” (Lihat Al-Istidzkar, 1/303)
Hal ini jika tidak batal wudhunya sewaktu ia mandi. Jika batal, maka wajib mengulangi wudhunya.
Wallahu a’lam.
http://buletin-alilmu.net/2010/03/20/mandi-janabah-hukum-dan-tata-caranya/