Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan (keringat) penduduk neraka, thinatul khabal.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah (pakaian yang terdiri dari dua potong baju) yang dikenakannya?”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?”
“Tidak.”
“Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?”
Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab:
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.”
(HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tatkala seorang laki-laki berjalan dengan angkuh di pagi dan petang hari, maka Alloh akan menenggelamkannya di dalam bumi dengan sebab keangkuhanya, maka dia tenggelam di dalamnya sampai hari qiyamat.” (Lihat: Sunan ad-Darimi; no. 437)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar radhiallahu anhu)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Tawadhu’ karena Allah ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah. Kedua makna ini benar.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan tentang tawadhu’:
ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﻀَﻊَ ﻟِﻠْﺤَﻖِّ ﻭَﺗَﻨْﻘَﺎﺩَ ﻟَﻪُ ﻣِﻤَّﻦْ ﺳَﻤِﻌْﺘَﻪُ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺟْﻬَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟَﺰِﻣَﻚَ ﺃَﻥْ ﺗَﻘْﺒَﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻪُ
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.” (Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tawadhu’:
ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻠَﻘَّﻰ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺑِﺎﻟْﺨُﻀُﻮْﻉِ ﻟَﻪُ ﻭَﺍﻟﺬُّﻝِّ ﻭَﺍﻟْﺈِﻧْﻘِﻴَﺎﺩِ ﻭَﺍﻟﺪُّﺧُﻮْﻝِ ﺗَﺤْﺖَ ﺭِﻗِّﻪِ . ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺍﻟْﺤَﻖُّ ﻣُﺘَﺼَﺮِّﻓًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﺗَﺼَﺮُّﻑَ ﺍﻟْﻤَﺎﻟِﻚِ ﻓِﻲْ ﻣَﻤْﻠُﻮْﻛِﻪِ. ﻓَﺒِﻬَﺬَﺍ ﻳَﺤْﺼُﻞُ ﻟِﻠْﻌَﺒْﺪِ ﺧُﻠُﻖُ ﺍﻟﺘَّﻮَﺍﺿُﻊِ. ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻓَﺴَّﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻜِﺒْﺮَ ﺑِﻀِﺪِّﻩِ. ﻓَﻘَﺎﻝَ: « ﺍﻟْﻜِﺒْﺮُ ﺑَﻄَﺮُ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻏَﻤْﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ » ﻓَﺒَﻄْﺮُ ﺍﻟْﺤَﻖِّ: ﺭَﺩُّﻩُ ﻭَﺟَﺤْﺪُﻩُ، ﻭَﺍﻟﺪَّﻓْﻊُ ﻓِﻲ ﺻَﺪْﺭِﻩِ. ﻛَﺪَﻓْﻊِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻞِ . ﻭَﻏَﻤْﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ: ﺍﺣْﺘِﻘَﺎﺭُﻫُﻢْ ﻭَﺍﺯْﺩِﺭَﺍﺅُﻫُﻢْ . ﻭَﻣَﺘَﻰ ﺍﺣْﺘَﻘَﺮَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺯْﺩَﺭَﺍﻫُﻢْ : ﺩَﻓَﻊَ ﺣُﻘُﻮﻗَﻬُﻢْ. ﻭَﺟَﺤَﺪَﻫَﺎ، ﻭَﺍﺳْﺘَﻬَﺎﻥَ ﺑِﻬَﺎ. ﻭَﻟَﻤَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺼَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻣَﻘَﺎﻝٌ ﻭَﺻَﻮْﻟَﺔٌ : ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﻨُّﻔُﻮْﺱُ ﺍﻟْﻤُﺘَﻜَﺒِّﺮَﺓُ ﻟَﺎ ﺗَﻘَﺮُّ ﻟَﻪُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮْﻟَﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟﺼَّﻮْﻟَﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻓِﻴْﻬَﺎ، ﻭَﻟَﺎ ﺳِﻴَّﻤَﺎ ﺍﻟﻨُّﻔُﻮْﺱَ ﺍﻟْﻤُﺒْﻄِﻠَﺔَ. ﻓَﺘَﺼُﻮْﻝُ ﻋَﻠَﻰ ﺻَﻮْﻟَﺔِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺑِﻜِﺒْﺮِﻫَﺎ ﻭَﺑَﺎﻃِﻠِﻬَﺎ. ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺣَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﺍﻟﺘَّﻮَﺍﺿُﻊِ: ﺧُﻀُﻮْﻉَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻟِﺼَﻮْﻟَﺔِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ، ﻭَﺍﻧْﻘِﻴَﺎﺩَﻩُ ﻟَﻬَﺎ. ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻘَﺎﺑِﻠُﻬَﺎ ﺑِﺼَﻮْﻟَﺘِﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
“Menerima kekuatan kebenaran dengan penuh ketundukan, merendahkan diri, patuh, dan masuk di bawah kendalinya, yaitu dengan cara kebenaran mengatur dirinya seperti seorang raja yang mengatur kerajaannya. Dengan inilah seorang hamba bisa meraih akhlak tawadhu’. Oleh karena inilah Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa kesombongan dengan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu dalam sabda beliau: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Makna ( ﺑَﻄَﺮُ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ) adalah menolak kebenaran, menentangnya, dan mengusirnya seperti mengusir orang yang hendak berbuat jahat. Sedangkan makna ( ﻏَﻤْﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ) adalah merendahkan manusia dan meremehkan mereka. Dan kapan saja seseorang merendahkan manusia dan meremehkan mereka, maka dia akan menolak hak-hak mereka, menentangnya, dan menghinanya. Tatkala seseorang yang di atas kebenaran memiliki kemampuan menyampaikan argumentasi dan kekuatan, maka jiwa-jiwa yang sombong tidak mau mengakui kekuatannya terhadap kekuatan yang dia miliki, terlebih lagi jiwa-jiwa pengusung kebathilan, mereka akan menyerang kekuatan kebenaran dengan kesombongan dan kebathilannya.
Maka hakikat tawadhu’ adalah ketundukan seorang hamba terhadap kekuatan kebenaran dan patuh kepadanya, jadi dia tidak akan melawannya dengan kekuatan yang dia miliki.
(Madaarijus Saalikin II/246)
####
Rendah hati (tawadhu') merupakan sifat yang sangat terpuji di sisi Allah dan bahkan sangat didambakan oleh kita semua. Tawadhu' akan melahirkan berbagai sikap-sikap mulia, seperti menghargai pihak lain, tidak memotong suatu pembicaraan, saling menjaga dan menghormati perasaan orang lain, yang muda bersikap sopan santun kepada yang lebih tua, yang tua pun kasih sayang kepada yang muda, serta merasa bahwa diri ini tidak sempurna, semua memiliki kekurangan dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri tanpa bekerja sama dengan selainnya. Bila sikap tawadhu' ini ada pada diri kita niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi dengan saling menghormati dan saling mencintai. Hal ini sebagaimana petuah al-Imam asy-Syafi'i, 'Sifat tawadhu' akan melahirkan cinta kasih.'
Seiring dengan semakin tuanya zaman ini, terasa semakin sulit pula mencari dan menikmati suasana yang sakinah (tentram dan nyaman). Oleh karena itu dalam kajian ini akan dikupas secara ringkas tentang betapa urgennya (pentingnya) sikap tawadhu' dan betapa besar pula pengaruhnya terhadap kemashlahatan (kebaikan) umat.
Sifat tawadhu' merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah berfirman (artinya): "Janganlah kalian memuji diri kalian. Dia lah yang paling tahu tentang orang yang bertaqwa." (an-Najm: 32)
Demikianlah, Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur (sombong) datang. Allah juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya yang mulia (artinya): "Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mukmin." (asy-Syu'ara': 215)
Begitu juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau senantiasa memerintahkan para shahabatnya untuk bersikap tawadhu'. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati, sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain." (HR. Muslim no. 2588)
Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran yang cukup banyak di antaranya, bahwa tawadhu' merupakan jembatan menuju keharmonisan, saling menghargai, keadilan dan kebajikan sehingga terwujudlah kondisi lingkungan masyarakat yang damai.
Hakekat tawadhu' adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya, baik ketika ia suka ataupun duka. Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya. Fudhail bin 'Iyadh, seorang ulama' terkemuka ditanya tentang tawadhu', maka beliau menjawab: "Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerimanya dari siapapun yang mengucapkannya." (Madarijus Salikin 2/329)
Lawan dari sifat tawadhu' adalah takabbur (sombong), sifat yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendefinisikan sombong dalam sabdanya: "Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas'ud)
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk menerima kebenaran dari siapapun. Walaupun kebenaran itu bertentangan dengan keyakinannya, maka sesungguhnya ini merupakan kemuliaan baginya di sisi Allah dan di sisi makhluq-Nya dan lebih menjaga kehormatannya. Dan jangan sekali-kali beranggapan bahwa kembali kepada kebenaran itu hina, justru dengan demikian akan mengangkat derajat dan menambah kepercayaan orang. Adapun yang enggan dan tetap mempertahankan kesalahannya serta menolak kebenaran, maka ini adalah takabbur.
Saudaraku! Marilah kita renungkan kembali kehidupan umat-umat terdahulu. Iblis, apa yang menyebabkannya terkutuk? Begitu juga Fir'aun dan bala tentaranya, serta Qarun beserta anak buahnya dan harta yang selalu dibanggakannya? Mereka adalah orang-orang yang telah dikutuk/dibinasakan oleh Allah disebabkan selalu menentang kebenaran dengan kesombongan dan membuang jauh-jauh sifat tawadhu'.
Kemuliaan tawadhu' sering tercermin pada manusia pilihan baik pada umat ini ataupun umat sebelumnya. Ingatlah ketika Luqman al-Hakim, seorang hamba yang shalih menasehati anaknya (artinya): "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan menyombongkan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu." (Luqman: 18-19)
Ulama Ahli Tafsir menerangkan bahwa maksud 'sederhanalah kamu dalam berjalan' adalah berjalanlah dengan tawadhu' dan tenang, serta tidak berjalan dengan menyombongkan diri.
Begitu juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagai manusia terbaik dan teladan bagi umat manusia, beliau menolak julukan/gelar yang berlebihan untuk diri beliau. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik bahwa orang-orang pernah berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami wahai junjungan kami, anak junjungan kami." Maka beliau shallallahu alaihi wasallam pun bersabda: "Wahai manusia, katakanlah dengan perkataan kalian (yang benar yaitu yang pertama, 'wahai Rasulullah' atau 'wahai Nabiyullah'), jangan sampai kalian dijerumuskan syaithan. (Hanyalah) aku ini Muhammad, hamba dan utusan Allah. Aku tidak suka jika kalian mengangkat derajatku di atas derajat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku." (HR. an-Nasa'i)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tawadhu'nya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dan di antara sifat tawadhu' Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah kebiasaan beliau yang senantiasa memberikan pelayanan kepada keluarganya. Aisyah, istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan beliau ketika di rumah, maka Aisyah menjawab: "Beliau shallallahu alaihi wasallam selalu berkhidmat kepada keluarganya dan apabila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya." (HR. al-Bukhari)
Dan di antara sifat tawadhu' beliau, sebagaimana yang dikisahkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar lalu megucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendo'akan kebaikan untuk mereka." (HR. an-Nasa'i)
Keteladanan yang baik ini juga diikuti oleh shahabatnya. Anas bin Malik pernah melewati kerumunan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam dan mendo'akan mereka. Kemudian beliau mengatakan: "Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa melakukannya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan sikap tawadhu' dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan, pengajaran dan termasuk bimbingan kepada anak-anak, disebabkan apabila anak-anak diberi salam, maka mereka akan terbiasa dengannya dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka." (Syarh Riyadhush Shalihin)
Sikap tawadhu' beliau juga ditunjukkan ketika makan. Mari kita perhatikan penuturan Anas bin Malik berikut ini:
"Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam makan, beliau menjilati ketiga jari-jarinya."
Kemudian Anas mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Apabila suapan salah seorang di antara kalian jatuh, maka ambillah dan bersihkan kotorannya, serta makanlah dan jangan membiarkan makanan itu dimakan setan."
Anas berkata: Beliau shallallahu alaihi wasallam juga menyuruh agar membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di piring. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kalian tidak tahu, bagian manakah dari makanan tersebut yang mengandung barakah." (HR. Muslim no. 2034)
Hadits ini disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin bab at-Tawadhu' dan Merendahkan Hati Terhadap Kaum Mukminin.
Begitu banyak teladan yang baik dari orang-orang terbaik yang melambangkan sikap tawadhu'. Semua ini tiada menambah mereka kecuali kemuliaan demi kemuliaan. Tinggallah kembali pada diri kita. Sudahkah kita memilikinya?
Sikap tawadhu' akan menghasilkan buah yang luar biasa baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di antaranya:
1. Allah akan meninggikan derajat orang yang tawadhu'.
Sifat tawadhu' bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu'an dapat mengangkat derajat seseorang. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk dihormati dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu', menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini merupakan suatu realita yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini.
Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan berkurang suatu harta karena dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah angkat derajatnya." (HR. Muslim no. 556 dari hadits Abu Hurairah)
2. Meraih al-Jannah.
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu', mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu' tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak keharmonisan masyarakat.
Oleh karena itu Allah menjanjikan al-Jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu' bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya 93 (artinya): "Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa." (al-Qashash: 83)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan masuk al-Jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut." (HR. Muslim no. 91)
Demikianlah kajian kali ini, semoga
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Amien, Ya Rabbal Alamin.
Buletin Al Ilmu Edisi No. 13/IV/XIII/1436 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar