Cari Blog Ini

Kamis, 07 Mei 2015

Tentang IBADAH KHUSUS DI MALAM NISFU SYABAN

Amalan Bulan Sya'ban yang tidak disunnahkan

Di antara kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian manusia pada bulan Sya'ban dan dianggap sebagai suatu bentuk ibadah namun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah mengkhususkan malam Nishfu Sya'ban (tanggal 15 Sya'ban) dengan mengadakan perkumpulan, meramaikan malam tersebut dan melakukan shalat berjama'ah pada malam tersebut serta berpuasa pada keesokan harinya. Dan para ulama telah mengingkari kesalahan-kesalahan ini di dalam kitab-kitab mereka, di antaranya adalah para ulama dari kalangan madzhab Syafi'iyyah:

• Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i menukilkan ucapan al-Imam asy-Syafi'i di dalam kitabnya "al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah" juz 1 halaman 184 sebagai berikut:
"...dan seluruh apa yang diriwayatkan dari hadits-hadits yang masyhur (di masyarakat) tentang keutamaan-keutamaan malam ini (malam Jum'at pertama dari bulan Rajab) dan malam Nishfu Sya'ban adalah batil (tidak shahih), mengandung kedustaan dan tidak ada asalnya..."

• Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi'i menjelaskan: "Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib yaitu sebanyak 12 rakaat yang dilakukan antara waktu Maghrib dan Isya' di malam Jum'at pertama pada bulan Rajab dan shalat yang dilakukan pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat maka kedua shalat ini adalah tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengandung kemungkaran serta kejelekan."
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya masih pada halaman yang sama:
"...dan janganlah engkau tertipu dengan adanya beberapa hadits yang menyebutkan tentang (disunnahkannya) kedua shalat itu, karena sesungguhnya itu semuanya adalah batil (tidak shahih) dan jangan pula tertipu dengan sebagian orang yang tersamarkan atasnya hukum kedua shalat tersebut dari kalangan para ulama yang dia membuat tulisan tentang dibolehkannya kedua shalat tersebut, maka sesungguhnya yang demikian adalah keliru. Dan sungguh asy-Syaikh al-Imam Abu Muhammad 'Abdurrahman bin Isma'il al-Maqdisi telah menulis suatu kitab yang sangat berharga tentang tidak disyariatkannya 2 shalat tersebut, beliau membahasnya dengan baik dan bagus di dalam kitab tersebut." (al-Majmu' Syarhul Muhadzab, juz 4 hlm. 56)

• Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i juga menegaskan: "Termasuk dari amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan merupakan kejelekan adalah shalat Raghaib pada malam jum'at pertama di bulan Rajab dan shalat Nishfu Sya'ban. Dan hadits yang menerangkan tentang kedua amalan tersebut adalah tidak shahih. An-Nawawi dan ulama selain beliau juga telah mengingkari dengan keras kedua amalan tersebut." (al-Manhaj al-Qowim juz 1 hlm. 288)

Hadits-Hadits Dhaif (Lemah) Seputar Sya'ban

"Apabila telah tiba malam pertengahan pada bulan Sya'ban (Nishfu Sya'ban) maka ada suara yang menyerukan (Allah): 'Barangsiapa yang meminta ampun (kepada-Ku) maka akan Aku ampuni dia, Barangsiapa yang meminta (kepada-Ku) maka akan Aku penuhi permintaannya', maka tidaklah seorang meminta sesuatu (kepada Allah) melainkan akan dipenuhi permintaannya. Kecuali seorang wanita pezina atau orang yang menyekutukan Allah."
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab "Syuabul Iman" no. 3836 dari jalan Jami' bin Shabih ar-Ramli dari Markhum bin 'Abdul 'Aziz dari Dawud bin Abdurrahman dari Hisyam bin Hassan dari al-Hasan dari sahabat 'Utsman bin Abil 'Ash.
Hadits ini adalah lemah karena pada sanadnya terdapat 2 cacat. Yang pertama adalah 'an'anah-nya seorang rawi yang bernama al-Hasan (al-Bashri) dan dia dikenal sebagai seorang rawi mudallis. Yang kedua adalah kelemahan seorang rawi yang bernama Jami' bin Shabih ar-Ramli. (Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah, juz 14, hlm. 1099)

"Ada 5 malam yang tidak akan ditolak doa orang yang berdoa di dalamnya: awal malam dari bulan Rajab, malam Nishfu Sya'ban, malam Jum'at, malam 'Idul Fithri dan malam 'Idul Adha."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir dalam kitab "Tarikh Dimasyq" no. 1452 dari jalan Abu Sa'id Bandar bin 'Umar dengan sanadnya dari Ibrahim bin Abi Yahya dari Abu Qa'nab dari sahabat Abu Umamah.
Hadits ini adalah palsu karena pada sanadnya terdapat 2 orang rawi yang dikenal sebagai pendusta yaitu Abu Sa'id Bandar bin Umar dan Ibrahim bin Abi Yahya.

Al-Imam Sirajuddin Ibnu Mulaqqin asy-Syafi'i mengatakan, "Tidak ada hadits yang shahih yang menerangkan tentang masalah (pengkhususan) shalat pada malam Nishfu Sya'ban." (at-Taudhih, juz 13, hlm. 445)

Al-Hafizh Zainuddin Abul Fadhl al-'Iraqi asy-Syafi'i mengatakan, "Hadits tentang pengkhususan shalat pada malam Nishfu Sya'ban adalah palsu atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kedustaan atas nama beliau." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz, juz 1, hlm. 190)

Jadi kesimpulannya bahwa semua hadits yang menyebutkan tentang keutamaan meramaikan malam Nishfu Sya'ban dengan shalat atau yang lainnya dan berpuasa pada siang harinya tidak ada satu pun yang shahih yang dapat dijadikan pegangan untuk beramal.
Wallahu a'Iam bish shawab.

Penulis:   
Ustadz Abu 'Abdirrahman Muhammad Rifqi

Al Ilmu Edisi No. 26/VII/XIII/1436 H

###

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu.
(QS. Al Maidah: 3)
Dan Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam riwayat Muslim (yang artinya):
Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak.
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka. Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan.
Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semuanya bidah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan-perbuatan bidah dan memperingatkan kita dari padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bidah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya.

Di antara bidah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bidah mengadakan upacara peringatan malam nisyfu syaban dan mengkhususkan hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu (palsu).
Al Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya Lathaiful Maarif mengatakan bahwa perayaan malam nisfu syaban adalah bidah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya adalah lemah.
Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya alhawadits walbida: Diriwayatkan dari Wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata: Kami belum pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu syaban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya.
Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam nisyfu syaban menyamai pahala lailatul qadar.
Ibnu Maliikah menjawab: Seandainya saya mendengar ucapannya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah.
Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai berikut:
Hadits: Wahai Ali, barang siapa melakukan shalat pada malam nisyfu syaban sebanyak seratus rakaat, ia membaca setiap rakaat Al Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala (...) dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu dan perawi-perawinya majhul.
Dalam kitab Al-Mukhtashar Syaukani melanjutkan: Hadits yang menerangkan shalat nisfu syaban adalah batil.
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali: Jika datang malam nisyfu syaban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya. Inipun adalah hadits yang dhaif.
Dalam buku Al-Alai diriwayatkan:
Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisyfu syaban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dhoif.
Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu. Dan hadits empat belas rakaat dst adalah maudhu.
Para fuqoha banyak yang tertipu oleh hadits-hadits maudhu di atas seperti pengarang Ihya Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisyfu syaban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar) dan haditsnya adalah maudhu.
Al-Hafidh Al-Iraqy berkata: Hadits yang menerangkan tentang sholat nisyfu syaban maudhu dan pembohongan atas diri Rasulullallah Shalallahu ’alaihi Wassallam.
Dalam kitab Al-Majmu, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat raghaib berjumlah dua belas rakaat dikerjakan antara maghrib dan isya pada malam jumat pertama bulan rajab, dan sholat seratus rakaat pada malam nisyfu syaban, dua sholat ini adalah bidah dan mungkar.
Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena telah disebutkan di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut bathil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari kalangan aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al-Maqdisy telah mengarang suatu buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil) kedua hadits di atas.

Dalam penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Quran dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisyfu syaban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya di dalam syariat Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Quran dibawah ini (yang artinya):
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu.
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jumat dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa. (HR. Muslim)
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam jumat itu lebih baik dari pada malam-malam lainnya, karena hari jumat adalah hari yang terbaik yang disinari oleh matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih.
Tatkala Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wasallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang mengkhususkannya.
Manakala malam lailatul Qadar dan malam-malam bulan puasa itu disyariatkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya melaksanakannya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shohih (yang artinya):
Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat. (Muttafaqun alahi)
Jika seandainya malam nisyfu syaban, malam jumat pertama pada bulan rajab, serta malam isra miraj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu ’alaihi Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang paling banyak memberi nasehat setelah Rasululah Shalallahu ’alaihi Wassallam.
Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wassallam ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisyfu syaban dan malam jumat pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tertentu adalah bidah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Miraj, begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
(Diringkas/disadur dari kitab Tahdzir minul bida karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, oleh An Nafiah dan redaksi)

Sumber: Darus Salaf online

###

ENAM PEMBAHASAN PENTING TERKAIT BULAN SYABAN
Oleh: asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Amma Bad.
Wahai kaum muslimin, kita berada di bulan Syaban. Kami akan menjelaskan tentangnya dalam enam pembahasan. Di dalamnya akan kami paparkan hal-hal yang wajib atas kami untk menjelaskannya. Kita memohon kepada Allah agar memberikan rizki kepada kami dan kepada Anda semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

1. Poin pertama: Puasa Syaban

Apakah bulan Syaban memiliki kekhususan untuk dilakukan padanya puasa, dibanding bulan-bulan lainnya?
Jawabannya: Iya. Sesungguhnya dulu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam banyak berpuasa padanya (pada bulan Syaban). Hingga beliau berpuasa pada Syaban seluruhnya kecuali sedikit (yakni beberapa hari saja yang tidak berpuasa).
Atas dasar ini, termasuk sunnah adalah seseorang MEMPERBANYAK PUASA PADA BULAN SYABAN, dalam rangka mentauladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

2. Poin kedua: Puasa Nishfu Syaban (Pertengahan Syaban)

Yakni berpuasa pada hari PERTENGAHAN Syaban SECARA KHUSUS. Maka dalam masalah ini, ada beberapa hadits lemah, tidak sah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan tidak boleh diamalkan. Karena segala sesuatu yang tidak sah dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka TIDAK BOLEH SESEORANG UNTUK BERIBADAH KEPADA ALLAH DENGANNYA.
Atas dasar ini, tidak boleh dilakukan puasa pada pertengahan Syaban secara khusus. Karena amalan itu tidak ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sesuatu yang tidak ada dasarnya MAKA ITU BIDAH.

3. Poin ketiga: Tentang Keutamaan Malam Nishfu Syaban

Dalam masalah ini juga ada hadits-hadits yang lemah, tidak sah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Atas dasar itu, malam Nishfu (pertengahan) Syaban kedudukannya seperti malam pertengahan Rajab, atau pertengahan Rabiul Awal atau akhir, atau pertengahan Jumada, dan bulan-bulan lainnya. Tidak ada kelebihan untuk malam tersebut –yakni malam Nishfu Syaban– sedikitpun. KARENA HADITS-HADITS YANG ADA TENTANGNYA ADALAH LEMAH.

4. Poin Keempat: Mengkhususkan Malam Nishfu Syaban dengan Qiyamullail

Ini juga merupakan BIDAH. Tidak ada dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau dulu mengkhususkan malam tersebut dengan Qiyamullail. Namun, malam tersebut kedudukannya seperti malam-malam lainnya. Apabila seseorang sudah terbiasa melaksanakan Qiyamullail, maka silakan dia melakukan Qiyamullail pada malam tersebut, melanjutkan kebiasaannya pada malam-malam lainnya. Apabila seseorang bukan kebiasaannya Qiyamullail, maka DIA TIDAK BOLEH MENGKHUSUSKAN MALAM NISHFU SYABAN DENGAN QIYAMULLAIL, karena itu tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Yang lebih jauh dari ini, bahwa sebagian orang mengkhusus qiyamullail pada malam ini dengan jumlah rakaat tertentu, yang tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Jadi, KITA TIDAK MENGKHUSUSKAN MALAM NISHFU SYABAN DENGAN QIYAMULLAIL.

5. Poin Kelima: Benarkah Ada Penentuan Takdir Pada Malam Tersebut?

Maknanya: Apakah pada malam tersebut (yakni Nishfu Syaban) ditentukan takdir pada tahun tersebut?
Jawabannya: TIDAK. Malam itu bukanlah Lailatul Qadar. Adapun Lailatul Qadar ada pada bulan Ramadhan.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya yakni al-Qur`an.
Seseungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur`an) pada Lailatul Qadar. Apakah yang kalian tahu tentang lailatul Qadar? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (al-Qadar: 1-3)
Allah Subhanahu wa Taala berfirman juga, “Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya al-Qur`an.” (al-Baqarah: 185)
Atas dasar ini, Lailatul Qadar itu ada pada bulan Ramadhan. Karena malam tersebut merupakan malam yang Allah menurunkan al-Qur`an. Al-Quran turun pada bulan Ramadhan. Maka pastilah, bahwa Lailatul Qadar itu pada bulan Ramadhan, bukan pada bulan-bulan lainnya. Termasuk malam Nishfu Syaban, malam itu bukanlah malam Lailatul Qadar. Pada malam Nishfu Syaban tidak ada penentuan Takdir apapun yang terjadi tahun tersebut. Namun malam tersebut adalah seperti malam-malam lainnya.

6. Poin Keenam: Membuat Makanan pada hari pertengahan Syaban

Sebagian orang membuat makanan pada hari pertengahan Syaban, untuk dibagikan kepada kaum fakir, dengan mengatakan, “Ini atas makan malam dari ibu…”, “Ini makan malam dari ayah…”, atau “Ini makan malam dari kedua orang tua….”
Ini juga BIDAH. Karena itu tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tidak pula dari shahabat radhiyallahu anhum.

Inilah enam pembahasan yang aku ketahui. Mungkin saja masih ada hal-hal lain yang tidak aku ketahui, yang wajib atasku untuk menjelaskannya kepada Anda semua.
Aku memohon kepada agar menjadikan kami dan Anda semua termasuk orang-orang yang menebarkan Sunnah dan meninggalkan Bidah, menjadikan kami dan Anda semua para pembimbing yang mendapat hidayah, serta menjadikan kami dan Anda semua termasuk orang-orang yang bertauladan dan mengambil bimbingan dari bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Al-Allamah Zaid al-Madkhali rahimahullah

Tanya:
Di sebagian negara-negara Arab, anak-anak keluar -ketika di malam pertengahan bulan Syaban- ke rumah-rumah dan membagikan permen-permen dan pemberian lainnya. Mereka menamainya sebagai Hak malam Nishfu asy-Syaban. Apa hukum amalan tersebut dan apa nasehat Anda? Jazakumullahu khairan.

Jawaban:
Amalan tersebut adalah amalan yang BATIL, karena merupakan amalan bidah. Tidak pernah dilakukan Nabi shallallahiu alaihi wa sallam, tidak pernah pula beliau memberi bimbingan untuk melakukannya, demikian pula para al-Khulafa ar-Rasyidun tidak pernah melakukannya. Amalan tersebut adalah amalan yang diada-adakan (dalam agama ini) yang TIDAK BOLEH dilakukan oleh umat manusia di tengah-tengah masyarakatnya. WAJIB atas Ahlul Ilmi untuk mengingkarinya.
(Transkrip Materi ke-2 pelajaran Syarh as-Sunan yang diasuh oleh asy-Syaikh Zaid al-Madkhali rahimahullah)

Majmuah Manhajul Anbiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar