Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan syawwal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim: 1164 )
Hadits ini merupakan nash yang jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Adapun sebab mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menyamakannya dengan puasa setahun lamanya, telah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata:
“Berkata para ulama: Sesungguhnya amalan tersebut sama kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun, sebab satu kebaikannya nilainya sama dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan, dan enam hari sama seperti dua bulan.” (Syarah Nawawi: 8/56)
Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة
“Berpuasa ramadhan seimbang dengan sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari seimbang dengan dua bulan, maka yang demikian itu sama dengan berpuasa setahun.” (HR. Nasaai dalam Al-kubra (2860), Al-Baihaqi (4/293), dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (4/107))
###
Puasa Syawal, Ibadah Penyempurna Ramadhan
Di saat bulan Ramadhan telah usai, ada sebuah harapan yang tentu menjadi keinginan setiap hamba yang telah menjalani bulan ramadhan dengan penuh kesungguhan dalam beribadah, yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah Azza Wajalla, sehingga terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar yaitu mendapatkan maghfirah dari Allah Azza Wajalla, sehingga terbebas dari segala dosa yang pernah ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar.
Sebab, jika dosa tidak juga terampuni, sungguh merupakan sebuah kerugian yang besar. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"Sungguh merugi seseorang yang mendapati bulan Ramadhan, lalu ia keluar darinya sebelum ia diampuni (dosa-dosanya)."
(HR.Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu)
Setelah kita memasuki bulan Syawal, termasuk di antara amalan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- kepada umatnya adalah berpuasa 6 hari di bulan tersebut. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti orang yang berpuasa sepanjang setahun."
(HR.Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu Anhu)
Disebutkan dalam riwayat lain tambahan lafazh:
"Allah menjadikan satu kebaikan sama dengan sepuluh kebaikan, satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan (berpuasa) enam hari setelah berbuka adalah penyempurna setahun."
(HR. Ibnu Majah, Ad-Darimi, At-Thahawi, dan yang lainnya. lafazh hadits ini berdasarkan riwayat At-Thahawi. lihat kitab Irwa Al-Ghalil, karya Al-Albani: 4, hadits nomor:950)
Berkata Ibnu Qudamah Rahimahullah: "Berpuasa enam hari di bulan Syawal merupakan amalan yang disukai menurut pendapat mayoritas para ulama."
(al-mughni: 4/438)
Keutamaan Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal
Disebutkan Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah beberapa manfaat berpuasa enam hari di bulan Syawal:
1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun.
2. Berpuasa di bulan Syawal dan juga Sya'ban kedudukannya seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu. Maka ia menyempurnakan sesuatu yang kurang yang terdapat pada amalan yang wajib. Sebab amalan-amalan yang wajib akan disempurnakan dengan amalan sunnah pada hari kiamat, dan mayoritas manusia tatkala berpuasa wajib, pasti mengalami kekurangan, sehingga perlu ada yang menyempurnakannya dari amalan- amalan yang lain.
3. Membiasakan diri berpuasa setelah Ramadhan merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan, sebab Allah -Azza Wajalla- jika menerima amalan seorang hamba, maka Allah -Azza Wajalla- memberi taufik kepadanya untuk melakukan amalan saleh yang berikutnya, sebagaimana dikatakan: "balasan dari perbuatan kebaikan adalah dia mengamalkan kebaikan berikutnya". Maka barangsiapa yang mengamalkan satu kebaikan lalu dia menyertainya dengan kebaikan berikutnya, itu merupakan tanda diterimanya amalan kebaikan yang sebelumnya, sebagaimana pula orang yang melakukan sebuah kebaikan lalu menyertainya dengan keburukan, itu merupakan tanda ditolaknya amalan kebaikannya dan tidak diterima."
4. Berpuasa Ramadhan menyebabkan diampuninya dosa- dosa, dan mereka yang berpuasa Ramadhan disempurnakan pahalanya pada saat hari raya, dan itu merupakan hari kemenangan, sehingga membiasakan berpuasa setelah hari raya merupakan bentuk rasa syukur atas kenikmatan ini. Tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari ampunan dosa yang Allah berikan kepada hamba-Nya.. Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- pernah mengerjakan shalat hingga menyebabkan bengkak kedua kaki beliau, lalu Beliau ditanya: mengapa Engkau melakukan hal ini, padahal Allah Ta'ala telah mengampuni dosa- dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?, Beliau menjawab: Tidakkah pantas aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?"
(Muttafaq Alaihi dari Mughirah bin Syu'bah radhiallahu anhu, juga datang dari hadits Aisyah Radhiallahu Anha)
5. Amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Rabb-nya di bulan Ramadhan, tidaklah terputus meskipun bulan Ramadhan telah usai. Maka selama seorang hamba masih hidup, maka amalan saleh tetap ada. Kebanyakan manusia merasa senang tatkala berlalunya bulan Ramadhan, disebabkan karena ia merasa berat dengan berpuasa, merasa bosan dan terasa terlalu lama. Orang yang demikian keadaannya, tidak akan kembali berpuasa setelah Ramadhan dalam waktu cepat. Maka orang yang kembali berpuasa setelah Ramadhan berlalu menunjukkan rasa senangnya dia berpuasa, dan dia tidak merasa bosan, berat dan tidak merasa terpaksa. Ada seseorang berkata kepada Bisyr: ada satu kaum yang mereka melakukan ibadah dan bersungguh- sungguh di bulan Ramadhan. Maka Beliau menjawab: seburuk- buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal hak Allah -Azza Wajalla- kecuali di bulan Ramadhan. Seorang yang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh- sungguh sepanjang tahun.
(ringkasan dari kitab Lathaif al-ma'arif, Ibnu Rajab Al-Hambali: 393- 400)
BEBERAPA HUKUM SEPUTAR PUASA SYAWAL
Haram Berpuasa di Hari Raya
Pada tanggal satu Syawal, diharamkan bagi seorang muslim untuk berpuasa disebabkan karena hari tersebut merupakan hari raya, hari makan dan minum. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid Maula Bin Azhar berkata: “Aku menyaksikan hari raya bersama Umar bin Khattab -Radhiallahu Anhu- lalu Beliau berkata: dua hari ini adalah hari di mana Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada keduanya: hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari yang kedua di saat kalian makan dari sembelihan kalian."
(Muttafaq alaihi)
Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu Anhu- bahwa beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- melarang berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan hari raya kurban.
Berkata Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-syafi-i Rahimahullah: Hadits ini menunjukkan diharamkannya berpuasa pada dua hari raya, sama saja apakah itu puasa nazar, kaffarah, sunnah, puasa qadha dan tamattu', dan ini berdasarkan ijma' ulama.
(Fathul Bari: 4/281)
Maka jika anda hendak berpuasa syawal, hendaknya dimulai dari tanggal dua Syawal, dan seterusnya.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan?
Berpuasa enam hari di bulan Syawal, tidak disyaratkan harus dilakukan secara berurutan, namun diperbolehkan dilakukan kapan saja dari hari- hari di bulan Syawal. Namun jika dia melakukannya secara berurutan, maka tentu hal ini lebih baik.
Berkata An-Nawawi Rahimahullah: Para ulama berkata: disukai melakukan puasa tersebut secara berurutan, di permulaan bulan Syawal. Namun jika melakukannya tanpa berurutan dan mengakhirkannya, hal tersebut diperbolehkan, dan dia telah melakukan sunnah ini, berdasarkan keumuman hadits.
(Al-majmu', syarhul muhadzdzab: 6/427)
Berkata pula Syaikh Bin Baaz Rahimahullah: "Diperbolehkan melakukannya secara berurutan dan secara terpisah, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- menyebutkannya secara mutlak tanpa penjelasan berurutan ataupun terpisah."
(Majmu' Fatawa ibn Baaz: 15/391)
Tidak Mengkhususkan Puasa di Hari Jum'at
Apabila berpuasa enam hari di bulan Syawal, hendaknya tidak menyendirikan puasa pada hari Jum'at, namun hendaknya berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
"Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum'at, kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya."
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu)
Diriwayatkan dari Juwairiyah Bintul Harits Radhiallahu Anha bahwa suatu ketika Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- masuk ke tempatnya pada hari Jumat dalam keadaan ia berpuasa. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertanya: apakah engkau berpuasa kemarin? Juwairiyah menjawab: tidak. Lalu Beliau bertanya: apakah engkau ingin berpuasa besok? Ia menjawab: tidak. Maka Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- berkata: "batalkanlah (puasamu)."
(HR. Bukhari)
Namun dikecualikan apabila seseorang berpuasa pada hari kebiasaan dia berpuasa, lalu bertepatan pada hari Jum'at, seperti jika dia hendak berpuasa Asyura, lalu bertepatan dengan hari Jum'at, maka boleh berpuasa di hari Jum'at, meskipun ia tidak berpuasa hari sebelum dan sesudahnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bersabda:
"Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam- malam yang lainnya dengan qiyamul lail secara khusus, dan jangan pula kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya dengan puasa khusus, kecuali jika salah seorang kalian biasa melakukan puasa itu."
(HR. Muslim)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah setelah menyebutkan beberapa hadits tentang larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum'at:
"Dan diambil faedah dari pengecualian dalam hadits tersebut bolehnya berpuasa jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, atau bertepatan waktunya dengan hari- hari yang ia biasa berpuasa pada hari tersebut, seperti jika ia berpuasa pada hari- hari putih (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah dalam setiap bulan), atau seseorang punya kebiasaan untuk berpuasa di hari tertentu seperti hari Arafah, lalu bertepatan pada hari Jumat."
(Fathul Bari: 4/275)
Tidak Mengkhususkan Puasa Pada Hari Sabtu
Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bahwa beliau bersabda:
"Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali sesuatu yang diwajibkan atas kalian."
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Al- Hakim, dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya bernama Ash -Shamma'. Hadits ini diperselisihkan para ulama tentang keabsahannya)
Berkata At-Tirmidzi: Maknanya adalah seseorang mengkhususkan hari Sabtu dengan berpuasa, sebab kaum Yahudi memuliakan hari Sabtu.
(Jami' At-tirmidzi)
Hukum Puasa Syawal Bagi Yang Punya Hutang Puasa Ramadhan
Bagi seseorang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan, hendaknya ia menyempurnakan qadha' puasa Ramadhannya terlebih dahulu sebelum ia berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan, "barangsiapa yang berpuasa Ramadhan…", nampak bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan puasa Ramadhan, dan dikuatkan lagi dengan penjelasan bahwa satu kebaikan senilai sepuluh kebaikan, yang jika dihitung seluruhnya akan mencapai setahun, hal itu hanya mungkin bila seseorang berpuasa sebulan penuh.
Berkata Al-Haitami Rahimahullah:
"…sebab puasa tersebut (puasa enam hari di bulan Syawal) bersama dengan puasa Ramadhan, sebab jika tidak, maka tidak terdapat keutamaan tersebut, meskipun ia memiliki hutang puasa karena ada udzur)." (Tuhfatul Muhtaj: 3/457)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:
"Berpuasa enam hari di bulan Syawal tidak akan diraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang memiliki hutang puasa, jangan dia berpuasa enam hari di bulan Syawal kecuali setelah meng-qadha puasa Ramadhan, sebab Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengatakan:
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan lalu menyertakannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal…"
Oleh karenanya, kami mengatakan kepada yang memiliki hutang puasa: puasa qadha'- lah terlebih dahulu, lalu setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal."
(Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/18)
Semoga Allah -Azza Wajalla- memberi kemudahan kepada kita semua untuk bisa mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, dan mengharapkan ridha Allah Azza Wajalla.
Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Makkah Al-Mukarramah, kamis 28 ramadhan 1433 H
###
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala
Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Menjelaskan, “Ini merupakan jenis lain dari jenis-jenis puasa sunnah, yaitu puasa enam hari di bulan syawwal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.” Pada hadits ini terdapat keutamaan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, yaitu enam hari di bulan syawwal bagi orang yang telah berpuasa pada bulan ramadhan, ia menggabungkan antara dua kebaikan, yaitu (kebaikan) puasa ramadhan dan (kebaikan) puasa enam hari di bulan syawwal.
Maka dia seperti seorang yang berpuasa ad-dahr yakni satu tahun. Yang dimaksud dengan ad-dahr di sini ialah satu tahun. Dikarenakan satu kebaikan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kebaikan. Maka satu bulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan, dan enam hari syawwal sama dengan dua bulan. Sehingga keseluruhannya dua belas bulan atau satu tahun. Maka orang yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawwal akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa satu tahun penuh. Ini merupakan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan ucapan beliau “enam hari dari bulan syawwal” menunjukkan bolehnya berpuasa secara berurutan atau terputus-putus dalam satu bulan tersebut (syawwal). Boleh juga dilakukan di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan, ini berdasarkan sabda beliau “enam hari dari bulan syawwal”.
Sebagaimana pula hadits ini menunjukkan, bahwasanya bagi orang yang tidak berpuasa ramadhan maka tidak disyariatkan baginya berpuasa enam hari di bulan syawwal. Dikarenakan beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan syawwal.” Sehingga orang yang tidak berpuasa ramadhan disebabkan udzur (alasan syar’i) maka tidak perlu puasa enam hari syawwal, bahkan ia harus bersegera berpuasa (membayar hutang puasa) ramadhan.
Demikian juga orang yang berbuka beberapa hari di bulan ramadhan karena udzur syar’i, maka tidak disyari’atkan baginya puasa enam hari syawwal hingga ia mengqadha’ sejumlah hari yang ia berbuka padanya di bulan ramadhan, setelah itu ia berpuasa enam hari syawwal jika masih tersisa, hal ini berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Lalu ia mengikutinya dengan (puasa) enam hari dari bulan syawwal” di sini beliau menyandingkan puasa enam hari syawwal dengan puasa bulan ramadhan sebelumnya. Jika ia memiliki hutang puasa ramadhan satu bulan penuh atau beberapa hari saja maka hendaknya ia mulai dengan yang wajib (yaitu mengqadha ramadhan), karena (mendahulukan) yang wajib lebih utama daripada yang sunnah.
Dan hukum puasa enam hari di bulan syawwal menurut jumhul ahlul ilmi, mereka menyatakan puasa enam hari di bulan syawwal adalah mustahab (sunnah), kecuali Imam Malik rahimahullah. Sesungguhnya beliau tidak berpandangan sunnahnya puasa enam hari syawwal, beliau menyatakan, khawatir manusia menganggapnya bagian dari ramadhan.’ Beliau ingin menutup celah agar orang-orang tidak menganggapnya termasuk dari puasa ramadhan.
Akan tetapi bagaimana pun, dalil lebih didahulukan ketimbang ro’yu (pendapat manusia). Sedangkan dalil menunjukkan sunnah. Dan ucapan Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentu saja lebih didahulukan di atas ucapan siapa pun.
Perkara ini tidak disepakati oleh Al-Imam Malik Rahimahullah (yakni sunnahnya puasa enam hari syawwal), dan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah memberikan udzur bahwasanya dimungkinkan Al-Imam Malik belum sampai kepada beliau hadits ini, belum sampai kepada beliau hadits ini… na’am.
Diterjemahkan dari Syabakah Ajurry
Sumber: Warisan salaf